Chapter 9 - Abducted

11K 920 430
                                    

Hai semuanya! Welcome back!

Ini chapter yang udah di edit. Selamat membaca! 

Jangan lupa VOTE dulu ya sebelum mulai! 

---

Chapter 9 

[ Abducted ]

--- 

Tiga pasang derap kaki terdengar mengetuk lantai marmer, begitu keras dan cepat. Di rumah itu, bahkan tak banyak penerangan yang dihidupkan. Langkah mereka bagai bayang. Hanya terlihat jikalau sinar rembulan memutuskan untuk menerangi mereka dari jendela.

Dua orang pria dan seorang perempuan. Mereka berjalan bagai sedang dikejar-kejar waktu.

Tidak, ralat. Yang perempuan hanya dibawa paksa saja.

Tangannya digenggam begitu erat, sebab sepanjang perjalanan dia tak berhenti meronta. Carlie Eloise. Dia bahkan sudah tak bisa merasakan pergelangannya lagi. Tangan Jona menahan miliknya kencang, menyakiti tangan kirinya yang belum sembuh total.

Namun rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan amarah yang berkobar di hatinya.

"Tuan, kita harus pergi secepatnya." Devan berkata, entah untuk ke berapa kalinya, selama beberapa menit terakhir.

"Apa kau tidak mendengar kalau aku akan berlaku begitu sesaat aku mengunci wanita ini?" kecam Jona, memicingkan matanya tajam. "Pergilah lebih dulu dan kumpulkan semua yang akan ikut. Ketika kumenyusul, semua sudah harus siap, paham?"

Devan berhenti melangkah, lalu membungkuk patuh. Dia membalikkan tumitnya, lalu pergi meninggalkan Tuannya yang sedang berkutat dengan seorang wanita. Melaksanakan tugasnya tanpa bertanya lebih lagi.

Jona menggusur Carlie kembali, hendak memasukkannya ke dalam sebuah ruangan. Menguncinya. Namun beruntung sebelum itu, Carlie berhasil melepaskan pergelangan tangannya.

Dipelintir olehnya pergelangannya sendiri, dan sesaat genggaman Jona lepas, Carlie menepis sekencang mungkin tangan pria itu.

"Jangan berpikir aku akan membiarkanmu begitu saja membawaku semau dirimu, brengsek!" jeritnya tajam. Sepanjang perjalanan Carlie tanpa henti meronta. Bahkan kini Jona merasa telinganya mulai berdengung, dibentak tanpa henti oleh suara lantang Carlie.

"Bawa aku kembali atau aku akan-"

"Atau apa?" tanya Jona, menaikkan senapan ke depan kening Carlie. "Perintahmu di hadapanku tidak berlaku, Eloise. Tidakkah kau sudah mengerti itu?"

Carlie memicingkan matanya tajam. "Dan paksaanmu di hadapanku tidak pernah berlaku juga, Austin!"

"Mungkin begitu. Namun di sini kau tidak berdaya," ketusnya tajam. "Sebab itu jangan meronta dan masuk ke dalam ruangan itu, kalau kau tidak mau aku untuk-"

"Membunuhku?" Kali ini Carlie yang menyela. Jona membelalak ketika wanita itu mengambil ujung senapan di tangan Jona, lalu menempelkannya langsung ke keningnya. Tanpa gertak ketakutan. "Lakukanlah kalau begitu. Itu jauh lebih baik ketimbang menjadi bonekamu, pembunuh."

Beberapa minggu yang lalu, Jona masih melihat ketakutan di mata Carlie. Ketakutan akan kematian. Dia memang meminta Jona membunuhnya ketimbang harus diperkosa oleh orang asing, namun saat itu getaran di matanya jelas. Carlie tidak ingin hidupnya berakhir saat itu.

Namun kini. Dia seakan menjadi orang yang berbeda.

Carlie tidak menyiratkan ketakutan sama sekali. Alih-alih matanya membara dalam keseriusan. Seakan nyawa sudah lagi bukan pertimbangan untuk dia pikirkan. Dan Jona terpaku mendapati wanita ini berubah secepat itu.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang