MM 2 : Prologue - Every Single Night

5.8K 463 143
                                    

Hi Semuanya! Welcome Back To Madame Mafia!

Sebelum mulai....

Bonus : 120 komen

Kalau komennya lebih dari segitu, aku updatenya sehari lebih cepet dari tanggal update biasa, okei?

Jangan lupa vote dulu, yuk!

Happy reading!

~~~ 

~~~

Prologue - every Single Night 

~~~

Debur ombak mengalun di telinganya. Bagai melodi sendu yang ingin Jona padamkan. Larik-larik matahari menyinari raganya. Rambutnya yang kusut menjadi bagai kemilau api yang menyilaukan mata. Mentari sore ini cantik bukan main, seakan Tuhan membuatnya, khusus untuk mereka yang terpilih, pada kesempatan ini, beruntung mampu melihatnya. Jona yang berada di bawah sinarnya, seharusnya bahagia. Sanubarinya seharusnya berbunga-bunga kesenangan, mulutnya seharusnya berkedut mencipta senyum.

Namun dia tidak bisa.

Sebaliknya Jona tersiksa.

Dia rasanya bisa mati saat ini juga, oleh kerongkongannya yang sakit bukan main. Oleh getaran di tubuhnya yang menggilakannya sampai kepalanya pening tak berujung. Bahkan kakinya terasa lemah untuk menopang raganya sendiri. Dia tersiksa dengan rasa sakit yang membombardir sekujur tubuhnya. Namun yang terburuk adalah hatinya.

Juga kerongkongannya.

Baru saat itu kesadaran menyambarnya. Jona tengah berteriak. Kencang sampai kerongkongannya sakit. Pita suaranya menjerit berhenti. Lehernya perih dari dalam. Dia menjerit menggunakan seluruh tenaga juga kehendak kalbunya. Tangannya meraih, namun kehampaan belaka yang dia gapai. Jona ingin menyentuh sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak ketahui. Ingin sesuatu yang bahkan tidak dia tahu apa yang diinginkannya.

Sampai sebuah suara lain terdengar di kedua telinganya, dan suara itu sepantar dengan mimpi terburuk yang mampu ditatapnya.

Itu adalah suara langkah seseorang. Dari keringanannya, kemungkinan besar perempuan. Suara langkah yang menjauh darinya. Pergi, tanpa mungkin bisa digapai. Gesekan di pasir menderu bersamaan hatinya yang tersayat-sayat rasa sakit. Kelibat-kelibat rambut hitam memenuhi pandangannya, namun tidak satu helai pun mampu dia belai. Jona ingin mengejar, namun kakinya terpaku di tanah. Dan kian jauh orang itu melangkah darinya, kian rusak pula dirinya. Diremuk sendu, dilabur kehancuran.

Siapa dia yang meninggalkanku?

Berputar di dalam benaknya bagai radio rusak pertanyaan yang sama terus menerus. Siapa? Siapa? Siapa? Namun belum sempat dia mencari tahu, tubuhnya ditarik kencang. Sampai tumitnya terluka menggesek pasir, sampai kepalanya pusing saking kencangnya lehernya ditarik. Kini segala sinar – senja, debur ombak, suara burung – kandas sempurna. Ditelan kegelapan yang bagai tidak ada penghujung. Jona menoleh ke kanan ke kiri, melihat kegelapan yang terbentang di sekitarnya.

"Halo?" tanyanya, entah pada siapa. Padahal kerongkongannya masih sakit, Jona paksakan untuk bersuara. "Halo!?"

Namun bukan jawaban yang diterimanya. Melainkan sebuah cekikan kencang yang mencengkeram tengkuknya.

Sialan! Jona ingin menjerit, namun dia tidak bisa. Cengkeraman kencang di lehernya bagai leash yang mengikat oksigen untuk memasuki relung paru-parunya. Begitu kencang, sampai kuku-kuku menancap ke lehernya. Jona kepayahan untuk mereguk nafas. Tangan yang mencengkeram lehernya saking kuat, kakinya sampai luput memijak tanah, raganya melayang ke atas tanah. Air mata perih mengalir di pelupuknya, Jona ingin menoleh untuk melihat siapa yang menyesakkannya, namun bahkan untuk tetap membuka mata, dia kesusahan.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang