Chapter 35 - A Call for Help

4.8K 439 39
                                    

Hi semuanya! Welcome back to Madame Mafia!

Di chapter ini aku coba hal baru : pakai sudut pandang orang pertama (Carlie) semoga kalian suka ya!

Happy reading semuanya! Awet awet ya?

~~~

Chapter 35 - A Call For Help

~~~

CARLIE ELOISE'S POV

Malam ini, aku memimpikan dia lagi.

Di benakku, wajahnya tampak kusut. Dia menduduki sebuah takhta dan aku bersimpuh di hadapannya. Matanya melotot sarat kegelisahan dan kesedihan. Tangannya bertumpu di kursi, tatapannya menghakimiku dengan sejuta kekecewaan. Aku hanya bisa diam meringkuk. Tidak ada pembicaraan yang terjalin antara kami, hanya pelototnya yang mematikan.

Itu saja sudah berhasil membuatku bangun terengah-engah.

Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, aku masih mengantuk, tapi aku tidak bisa tidur lagi. Karena itu, aku memutuskan untuk keluar kamar, membiarkan angin malam dan wangi amis ombak menemani senduku. Dua minggu yang lalu, setelah malam pelelangan, Uncle mengirimku pada sebuah tamasya ke Bora-bora bersama Ian. Niatnya untuk mengalihkan pikiranku, namun Jona nyatanya tidak pernah meninggalkanku bahkan sampai sini pun. Kali ini dia ikut sebagai mimpi.

Aku menduduki dermaga, membiarkan cipratan ombak menerpa tungkaiku. Pemandangan gelombang air biasanya menenangkan, namun saat ini hatiku kelewat risau. Setiap hari, dadaku diimpit sesak. Semakin hari, semakin buruk.

Apa yang dia sedang lakukan? Apa Jona baik-baik saja? Apa dia kembali melukai diri sendiri tanpaku? Kalau iya, itu salahku, bukan?

Membayangkan bagaimana keadaan Jona sekarang membuatku ingin menangis. Aku memeluk lututku, meringkuk bagai anak kecil kedinginan.

"Tidak bisa tidur?"

Sosok Ian muncul dari balik kamarnya dan mendekat. Tubuh jangkungnya duduk di sampingku, kaki panjangnya menggantung ke bawah papan kayu, jemarinya tenggelam dalam air laut. Dia menguap. Ian masih mengantuk, namun jelas dia keluar kamar untuk menghiburku. Seperti biasa, sepupu terbaikku.

"Mimpi buruk." Aku menjawab.

"Tentang... dia?" Keraguan terdengar ketika Ian mengungkit persoalan yang kita cap sensitif ini.

Aku mengangguk, menenggelamkan wajah semakin dalam ke balik lututku. "Akankah kau marah jika aku mengatakan aku merindukannya?"

Kening Ian berkerut masam. Aku tersenyum sedikit. Minimal, wajahnya menggemaskan. "Aku tidak bisa marah padamu. Tapi, aku membenci diriku sendiri yang tidak menghentikanmu mendekati Jonathan Austin. Padahal, waktu itu aku tahu kau bersamanya."

Dersik angin membuat rambutku beterbangan ke segala arah, hingga aku harus mengaitkannya ke telinga. Dadaku seberat beton, tubuhku kebas kedinginan. Kepalaku berdenyut-denyut bagai diremas-remas di dalam sana. Rasanya aku ingin menangis, namun egoku tidak membiarkanku hancur di depan Ian. Aku tatap kembali hamparan ombak. Mengingat wajah Jona yang aku rindukan, permohonannya untuk aku kembali, mengingat perjanjian yang kutukarkan dengan Uncle.

Aku benci ingatan yang terakhir.

Aku mau melakukan apa pun untuk mengembalikan waktu dan tidak mengikuti lelang terkutuk itu. Andai begitu, mungkin aku masih bisa membisikkan padanya kalau kita akan abadi bersama. Sebuah janji yang telah aku ingkar. Tidak ada seorang pun yang tahu, seburuk apa aku menyalahkan diri sendiri karena tidak menepati sumpah itu.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang