MM 2 : Chapter 5 - Behind The Flames

4.3K 411 177
                                    

Hi Semuanya! Welcome Back To Madame Mafia!

Sebelum mulai seperti biasa....

Bonus : 150 komen

Kalau komennya lebih dari segitu, aku updatenya sehari lebih cepet dari tanggal update biasa, okei?

Jangan lupa vote dulu, yuk!

Happy reading! 

~~~

Memanjati balkon sebuah gedung pencakar langit tentu tidak terdengar lazim. Tidak bahkan terdengar bisa dilakukan manusia normal. Walaupun bagi siapa pun yang mengenal sosok Jona yang sebenarnya, tidak mungkin akan menyebutnya normal. Namun Carlie berbeda. Dia manusia normal. Dia hanya seorang perempuan yang hidup mewah di bawah naungan kekayaan ayahnya, dan memiliki karier cemerlangnya sendiri. Namun manusia normal itu hari ini, melakukan sesuatu yang seharusnya mustahil dia perbuat.

Digendong oleh Jona, Carlie menuruni balkon satu per satu, kabur dari kamarnya sendiri.

Bagaimana rasanya? Mengerikan. Bagai dia akan jatuh kapan pun. Berkali-kali bibirnya bertanya, "Apa kita tidak akan mati?" Namun berkali-kali itu pula Jona meyakinkan kalau pegangannya di balkon cukup kuat untuk membawa dua orang. Kericuhan di lantai atas, juga bawah menjadi-jadi. Sebab bawahan ayahnya tidak menemukan Carlie setelah dia memasuki pent housenya. Karena itu, untuk kabur dari bayang-bayang senter bawahan Ayahnya, mereka harus melompat ke balik kegelapan. Bagian-bagian balkon yang tidak terkena sinar. Yang tentu saja, kian mempersulit.

Carlie rasanya ingin menjerit setiap Jona melompat. Namun dia tidak bisa. Tidak boleh. Jikalau tidak, mereka akan ketahuan. Namun sekalipun ketakutannya tidak main-main, perlahan-lahan senyum mulai terbit di wajahnya. Sudah sangat lama tidak selebar ini sebelumnya. Senyum penuh kekeh geli juga rasa panas yang menjalar di kulit wajahnya. Dia merona merah bahkan tanpa dia sadari. Tubuh Jona dan tangannya yang dikalungkan di leher pria itu, rasanya begitu erat, begitu intim. Seakan mereka kembali ke 4 tahun yang lalu.

Seperti yang selalu kuinginkan dalam mimpi-mimpiku.

Walaupun pengalaman ini sungguh menakutkan, pada akhirnya ketika mereka sampai ke tanah paling bawah, mengumpat di toilet petugas yang tidak banyak dikunjungi siapa-siapa, senyum Carlie membentang selebar samudera. Dadanya berdetak sekencang genderang di tengah perang. Hanya Jona yang bisa membuatnya seperti ini. Sesenang ini. Dengan segala tindak-tanduk gilanya yang membuat geleng-geleng kepala, namun sama waktu sangat menghibur.

Hanya bersamanya beberapa menit saja, aku sudah tersenyum selebar ini. Carlie memejamkan matanya, merasakan buncah bahagia yang meluap-luap di dadanya. Aku sungguh merindukan rasa ini.

"Aku tidak tahu kau lebih berat dari tampangmu. Pundakku sakit." Senyumnya seketika kandas, berganti dengan kerut amarah yang tercetak di matanya.

"Tidak ada pria yang menyinggung berat badan perempuan di depan wajahnya! Apa kau tidak tahu!?" sentaknya, membisik.

Jona tertawa ringan. Seperti biasa, dalam nan serak. "Aku tidak akan meminta maaf." Betapa pongahnya. Betapa rindunya aku sama kelakuannya. "Devan, asistenku, akan menjemput kita di sini. Tunggu sebentar."

"Aku tahu Devan."

Jona menoleh. "Maka kalian akan berjumpa dengan manis setelah ini." Suaranya terdengar kelam, wajahnya berkerut tidak suka. Kecemburuan terasa di suaranya, walau dia berkata ingatannya hilang, perasaan mereka tidak hilang. Membayangkannya saja, Carlie rasanya bisa tersenyum sampai melompat-lompat. Dia benar-benar bahagia.

Jona benar-benar membuatnya bahagia.

"Cari di sana!"

"Tidak, Cari di area lain!"

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang