11 ; Panggil saya Kakak
Rafa menatap Austin dengan pandangan rumit.
Entah ada angin apa Austin tiba-tiba saja menghampirinya dan mengatakan hal konyol dengan ekspresi datar yang selalu melekat di wajahnya.
"Mulai sekarang, panggil saya Kakak."
Alis Rafa mengernyit semakin dalam. "Ha?" Rafa terdiam ketika Austin tiba-tiba berbicara padanya.
Austin dengan wajah datarnya menatap Rafa dengan tajam, "tidak ada pengulangan," dengusnya.
"T-tapi 'kan Kakak memang sudah jadi Kakaknya Rafa," ucap Rafa dengan heran sekaligus takut, takut jika ucapannya menyinggung Austin.
Benar juga, batin Austin.
"Panggil saya Kakak seperti kamu memanggil mereka."
Mereka yang dimaksud Austin adalah Alvin dan Alan. Kedua adiknya yang beruntung bisa dekat dengan Rafa.
Dengan tampang datarnya Austin pergi meninggalkan Rafa setelah memberinya perintah untuk memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'.
Rafa menatap punggung tegak Austin yang perlahan menghilang di lorong menuju kamarnya di lantai 2.
Apa Kakak pertamanya iri kepada Alvin dan Alan, karena mereka sudah mendengar panggilan Kakak darinya sedangkan Austin belum? Batin Rafa bertanya-tanya.
Haruskah Rafa merasa senang, karena sepertinya Austin mulai menerima kehadirannya di tengah-tengah keluarga mereka.
Tapi, Rafa pikir Ia tidak perlu terlalu senang, Ia takut jika semua ini hanya ekspektasinya yang terlalu tinggi dan akan membawanya pada realita yang menyakitkan.
Makan malam kali ini terasa lebih hidup dengan kehadiran Rafa.
Marko yang biasanya cuek dan memakan makanannya tanpa memperdulikan anak-anaknya kini tengah menawari Rafa dengan berbagai menu masakan yang berada di atas meja.
Raut wajah Alvin terlihat kecut saat melihat sang Ayah yang begitu perhatian dengan Rafa, sedangkan Alan Ia biasa saja, toh selama ini mereka yang selalu melarang Marko untuk melakukan hal-hal semacam itu yang menurut mereka adalah hal yang mengganggu.
Marko sendiri begitu antusias menyimpan beberapa lauk yang Rafa pilih di piring anak itu.
Marko sangat bahagia, sekarang Ia seperti Ayah sungguhan. Dulu Marko selalu mendapat penolakan dari anak-anaknya ketika Ia dengan baik hati menanyakan makanan apa yang ingin mereka makan, dan mereka selalu menjawab,
"Alan bisa ambil sendiri, Pa." atau, "Papa makan saja, Alvin bisa mengurus diri Alvin sendiri."
Benar-benar anak durhaka!
Namun, walaupun mereka bersikap seperti itu Marko tetap tidak bisa marah, karena bagaimanapun mereka tetap anaknya, anak yang selalu Ia tunggu kehadirannya, darah dagingnya.
"Habiskan semuanya, oke?" ucap Marko.
Rafa mengangguk sebagai jawaban.
Setelah menyelesaikan makan malam, kini kelima laki-laki beda usia itu duduk berjejer di sofa dengan Marko yang berada di hadapan ke empat anaknya.
"Kenapa Pa?" tanya Alvin memecah kesunyian.
Marko menatap mereka dan bertanya serius, "kalian tahu minggu depan hari apa?" tanya Marko.
Alvin dan Alan mengangguk bersamaan, "hari Kamis 'kan?" jawab Alan dengan wajah polos.
Marko mengangguk-anggukan kepalanya, namun sedetik kemudian pria itu menggeleng.
"Bener sih, tapi salah."
"Lah, gimana sih Pa?" ucap Alan bingung, pemuda itu membuka ponselnya dan kembali bicara, "bener kok hari Kamis, tuh liat," tunjuknya pada kalender yang berada di ponsel.
"Salah, coba jawab lagi."
Alvin angkat suara, "Jadwal keluarga kita sebagai tuan rumah, hari kamis nanti ada acara keluarga besar kayak biasa."
Marko tersenyum senang dan mengeluarkan uang berwarna merah, "Betul, 100 ribu buat Alvin," ucapnya.
Alvin tersenyum tipis sebelum mengantongi uang tersebut, "sering-sering ya, Pa"
"Kok di kasih uang sih," Alan mencak-mancak tidak terima begitu tahu sang kakak mendapat uang hanya karena memberikan jawaban yang benar.
Marko mengabaikan rengekan anak bungsu ah ralat ketiganya dan kembali fokus ke pembahasan awal.
"Karena minggu depan jadwal rumah ini yang di pake, kalian harus ada di rumah dan jangan banyak alasan untuk gak hadir! Satu lagi, Papa juga akan mengenalkan Rafa kepada semua keluarga besar kita," jelas Marko dengan senyum mengancam saat melihat Austin yang akan bicara.
Decakan pelan Austin terdengar di antara mereka.
Alvin menatap wajah sang Ayah dan berkata, "Apa Papa yakin?"
"Tentu saja! Apa yang perlu kamu takutkan, son?"
Alvin menghela nafas pelan, "Alvin cuman takut mereka ... mereka gak bisa nerima kehadiran Rafa."
Marko berpindah tempat dan merangkul pundak kecil Rafa, "lihat baik-baik, Rafa sangat manis bukan?" tanya Marko yang diangguki kedua anaknya, "Tentu saja mereka akan menerimanya," ucapnya dengan senyuman menenangkan.
Rafa yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya mengutarakan kegelisahannya.
"Apa mereka benar-benar akan menerima Rafa?" tanyanya begitu lirih.
"Tentu saja. Mereka akan menerima-mu karena mereka tidak memiliki pilihan," Marko mengucapkan kalimat terakhirnya di dalam hati.
Rafa akhirnya bisa bernafas lega setelah mendengar ucapan Marko.
"Bubar deh udah malam nih, Alvin kamu harus sekolah besok dan Alan juga, kamu ... terserah mau ngapain aja," ujar Marko dengan tangan di lambaikan seakan mengusir mereka, namun dia membebaskan anak pertamanya.
Austin mendengus menatap Marko yang menurutnya pilih kasih, dan berjalan pergi meninggalkan ruang tamu.
Rafa menatap Austin dengan tatapan kasihan. Apa Ayah baru nya memang selalu membeda-bedakan perhatiannya?
"Papa?"
"Kenapa, Raf?"
"Papa kenapa bicara kayak gitu, kalau kak Austin marah gimana? Nanti Papa nyesel loh terus kak Austin gak sayang Papa lagi," ucap Rafa dengan nada menakut-nakuti Marko.
Marko membuat wajah seolah-olah terpengaruh oleh ucapan Rafa, "beneran kayak gitu?" tanyanya dengan tubuh sedikit gemetar.
Melihat badan besar Marko yang gemetaran membuat Rafa mengangguk beberapa kali dan menyuruhnya untuk menemui Austin untuk meminta maaf.
Sedangkan orang yang sedari tadi mereka bicarakan tengah tersenyum di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan tangga menuju lantai 2.
"Anak yang manis."
- To be continued -
Yuhuu ada yang kangen Rafa?
Maaf ya Cappi update nya lama heheeBanyak pembaca baru ya, jadi seneng deh ternyata ada yang baca cerita yang jarang update ini 😭😭
Btw, kalian tau cerita ini dari mana? Spill di komen dong.
Semakin banyak komen semakin cepet update 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFANO ZAYAN
Kısa Hikaye[ Brothership ] Dia Rafa. Remaja 13 tahun yang hidup di jalanan. Rafa hidup sebatang kara selama 13 tahun, kesehariannya adalah berjualan koran untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suatu hari ketika Rafa berjualan koran di jalan, seorang pria kaya tampa...