32. Bruises

2.5K 327 52
                                    

Minhye membawaku ke satu rumah di pesisir pantai yang kurasa ini pernah sempat aku datangi waktu itu. "Ini rumah Niki." Kata Minhye membuatku mengingat satu reka adegan bagaimana Niki mencoba menolongku lari dari suruhan Jay.

"Kakak tenang saja. Ini tempat paling aman untukmu sekarang." Lanjutnya kemudian membaringkanku di atas ranjang dengan selimbut hangat.

Lantas beranjak pergi setelah memberikan beberapa wejangan tentang untuk tidak menyakiti diri dan semua akan baik-baik saja.

Sampai kemudian pandanganku berpusat pada kaca jendela membuatku duduk beranjak menatap lautan yang cukup jauh dari sini.

Hanya ada pohon mapple dengan daunnya yang berguguran memberikan kesan sendu yang melekat. Bagaimana bisa Jay menikah dengan Aikoo?

Tapi dari sekian banyak rasa sakit dan kekecewaan aku cukup bersyukur bahwa ia selamat. Masih tetap bernafas  sebagaimana mestinya.

Mungkin memang lebih bagus begini. Dia bersama dengan Aikoo dan aku dengan kesendirianku.

••••

Aroma darah yang menyengat dan bagaimana jerit tangis itu membuatku berteriak keras sampai pintu kamar terbuka. Minhye memelukku erat dan mengatakan bahwa itu hanya mimpi buruk.

Menyakinkanku untuk kesekian kalinya bahwa itu mimpi buruk.

Nafasku masih tersenggal. Ingatan bagaimana malam buruk itu terus menghantuiku dan tanpa bisa kucegah aku terus berteriak keras. Memohon untuk berhenti. Berhenti. Kumohon. Hentikan.

"Aaaaaaaa Noa!! Dia membawa Noa Minhyeee!!"

"Kakk tenanglah..." Minhye menyentak tubuhku keras. "KAKAK SADARLAH!"

Aku terkesiap dengan pandangan kian buram. Rasanya menyakitkan melihatnya yang menatapku di rundung rasa khawatir sekaligus iba padaku. "Kak tenang okay. Tarik nafas buang perlahan." Instruksinya yang aku coba perlahan dengan kejut jantung yang berangsur membaik.

Lalu Minhye memberiku obat yang sudah di resepkan oleh dokter psikiaterku selama beberapa bulan ini. "Tidurlah." Katanya kemudian beranjak pergi setelah melihatku lebih tenang.

Ini sudah hampir menginjak dua tahun lamanya aku begini dan Minhye selalu setia menemani pengobatanku yang tak kunjung memberi hasil lebih baik.

Keesokan paginya ia membawaku ke rumah sakit untuk bertemu dengan dokter Joshua yang menangani pengobatanku. Sesi di lakukan cukup baik dengan beberapa resep baru yang ia berikan untukku.

Sementara Minhye yang katanya menunggu di bangku tunggu ntah kemana perginya sekarang. Aku menunduk tanpa ingin melihat orang-orang berlalu lalang segera berjalan menuju kantin.

Mengira mungkin Minhye disana untuk mencari sarapan karna tadi ia tak sempat memakan sarapannya. "Aku sudah bilang untuk jaga kesehatanmu Ai."

Suara Jay yang sangat aku kenali terdengar begitu dekat membuatku menahan nafas dan menunduk semakin dalam. Berharap ia tak mendapati eksistensiku.

"Sekarang kau hanya punya satu ginjal, kau tidak lupakan?"

"Aku mengerti sayang.."

Suara itu semakin dekat membuatku semakin merapat pada dinding dengan kepala tertunduk menatap kedua kakiku dengan pandangan kian memburam tatkala merasakan aroma musk milik Jay di dekatku.

Ia melewatiku begitu saja sambil merangkul Aikoo dengan penuh kasih sayang membuat hatiku terkepal erat. "Kak." Minhye datang dengan air muka yang panik menghampiriku.

"Kenapa kakak disini? Sesinya sudah selesai?"

Aku membalasnya berupa anggukkan dan membiarkannya menarikku berjalan keluar menuju parkiran. "Maaf ya kak. Tadi kupikir masih lama jadi aku beli minuman dulu."

SLAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang