D-6

19 1 0
                                    

Hari rabu. Nggak ada kejadian seru sampai saat ini, terlebih Luca sampai kemarin belum masuk dan gue nggak dapat kabar tentang dia. Gue sudah kirim pesan dan telfon Luca berkali-kali, tetapi nggak ada balasan dan hpnya nggak pernah aktif.

Dia benar-benar seperti hilang ditelan bumi.

Gue juga sudah tanya ke Juli di mana Luca tinggal, agar gue bisa jenguk dia. Tetapi, Juli bilang, kalau itu sudah masuk ranah privasi Luca dan Luca nggak menyukai hal itu. Sudah berbagai cara buat ngebujuk Juli, tapi dia tetap pada pendiriannya. Nggak mau membaginya.

Gue hanya bisa pasrah selama 2 hari ini.

Jauzan? Sikapnya terlihat biasa saja sampai kemarin. Gue sempat curiga kalau dia ada hubungan dengan Luca dan gue langsung menanyakan hal tersebut. Jawabannya, dia dan Luca cuman sebatas kenal. Gue bertanya juga tentang kebenaran dia yang menjemput adiknya, Adhena kemarin dulu. Dia memberikan bukti dengan menunjukkan foto ia yang sedang menjemput Adhena. Ditambah lagi, dia nyuruh gue untuk telfon kak Yoshi dan dari pernyataan kak Yoshi, memang benar kalau Jauzan menjemput Adhena.

Sebenarnya, masih ada yang mengganjal. Tapi, mau nggak mau gue harus percaya 'kan?

Iya, untuk saat ini gue percaya dulu.

Sebenarnya, gue sedikit malas ke sekolah hari ini, dikarenakan cuaca mendung yang mendukung gue untuk ingin tidur-tiduran di kasur dengan selimut tebal. Ditambah lagi, gue nggak melihat sosok Luca di sekolah yang mengubah rutinitas gue seminggu ini untuk terus mengingat taruhan gue.

Hah, ngantuk.

Gue berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah. Hingga, gue melihat sosok yang gue cari selama ini.

Ah, bahkan gue benar-benar hafal sosok Luca walau ia membelakangi gue.

Segera, gue mempercepat langkah untuk menyapanya.

"Hai, Ca."

Ia hanya melirik gue sekilas, bahkan nggak membalas sapaan gue dan terus berjalan sambil melihat ke depan.

Sudah biasa.

"Gimana keadaan lo? Bisa latihan seben-"

Byur

"Sorry, Ca. Hari ini piket gue buat nyiram tanaman. Tapi, tangan gue licin. Sorry, yah."

Gue nggak bisa berkata-kata melihat kejadian tadi. Luca basah kuyup, sedangkan gue nggak, dan kedua orang tersebut pergi meninggalkan kita berdua.

Nggak, bukan maksud gue berharap untuk minta dikenai air siraman tadi. Tapi, gue nggak habis pikir, kenapa gue nggak kena? Jelas-jelas gue berada didekat Luca. Lumayan dekat untuk bisa dikenai air siraman jika itu merupakan hal yang nggak disengaja. Bahkan, sebelum mereka benar-benar pergi, gue bisa dengar tawa remeh dari pelaku insiden ini. Minta maaf saja terdengar nggak ikhlas. Berarti, benar-benar disengaja 'kan?

Gue melihat Luca yang terburu-buru pergi meninggalkan gue. Gue ingin mengikutinya, tetapi langkah gue terhenti oleh kalimatnya yang... Astaga, untung saja nggak ada orang di sekitar kita yang bisa saja menimbulkan kesalahpahaman dan merusak reputasi gue.

"Mau ke WC? Mau lihat badan gue? Mesum!"

Nggak gitu juga, anjir.

***

"Jay, di kelas lo, Luca anaknya gimana sih?"

"Nggak tahu."

Gue hanya menghela nafas berat mendengar jawaban Jay. Ketua kelas, tapi keadaan orang-orang di kelasnya nggak ada yang ia ketahui. Berkat ketampanannya, orang-orang bisa mengingat dan mengenalnya lebih mudah daripada dia yang... Anjir, syukur deh kalau dia ingat wajah orang.

Adam's Ice GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang