D-13

17 0 0
                                    

Beneran, ada yah manusia keras kepala kayak Luca?

Gue dibuat putar otak dengan taruhan ke-2 ini.

Keesokan harinya, saat gue ke kantin, gue nggak menemukan sosok Luca di tempat biasa dia duduk bersama Juli. Hanya ada Juli dan teman-temannya. Sehingga, gue mendekat ke arahnya dan bertanya tentang keberadaan Luca.

"Waktu gue ke kelasnya, dia bilang mau ke perpus." Ucapnya, yang membuat gue putar haluan untuk ke perpustakaan. Sayangnya, gue nggak menemukannya, bahkan sampai memeriksa ke meja paling ujung yang biasa menjadi spot duduk Luca kemarin dan beberapa hari lalu. Tetap saja gue nggak menemukan sosoknya sama sekali. Akhirnya, gue memilih kembali ke kelas.

Keesokan harinya lagi, gue memilih ke kelas Luca terlebih dahulu dan hanya menemukan Jay yang sedang menulis. Gue to the point menanyakan keberadaan Luca.

"Ke kantin bareng Juli."

Langsung saja gue ke kantin, meninggalkan Jay tanpa sepatah kata apapun. Lagi-lagi, gue nggak menemukan sosoknya di sana. Hanya Juli dan teman-temannya kemarin, membuat gue mendekat ke arahnya dan bertanya lagi.

"Dia balik ke kelas, karena lupa kerjakan tugas. Mungkin dia ke perpus."

Lagi, gue pergi tanpa sepatah kata apapun. Kali ini, gue berlari dan saat gue tiba di perpustakaan, sekali lagi gue nggak menemukan sosoknya.

Percayalah, jarak antara kantin dan perpustakaan sangat jauh dan gue melakukan perjalanan kantin-perpustakaan selama 2 hari ini.

Luca benar-benar melanggar ucapannya. Seandainya kelas gue lebih cepat keluar, mungkin gue bisa menemukannya hari ini.

Dan hari berikutnya lagi, dia nggak ke kantin maupun ke perpustakaan.

Pengen gue cap Luca sebagai perempuan paling gila yang pernah gue temuin.

Gue tetap tenang saat mendengar langkah kaki dan dia berhenti tepat membelakangi gue, membuat gue menarik lengannya dan terjatuh didepan gue. Wajah gue dan dia cukup dekat.

Matanya sedikit membulat menandakan bahwa dia cukup kaget dengan kehadiran gue. Cukup lama kita bertatapan, sampai gue bersuara.

"Lo ingkar janji, Ca."

Ekspresinya kembali normal. Dia berusaha melepaskan genggaman gue, tapi nggak bisa.

"Gue udah bilang 'kan untuk nggak menghindari gue? Kenapa lo ingkar janji, Ca?"

"Karena gue muak sama lo!" Ucapnya dengan nada meninggi.

Gue mengangkat ke atas tangannya yang udah gue genggam, kemudian memegang tangan lainnya dan mengarahkannya ke belakang punggungnya, membuat tubuhnya semakin mendekat ke arah gue.

"Ucapan terserah kemarin, gue anggap sebagai ucapan ya dari lo. Apa susahnya buat melaksanakannya?" Tanya gue dan dia tetap diam, menatap gue tajam.

"Apa perlu gue menambah durasi taruhan kita? Tubuh lo juga bagus. Momen dan posisi kita saat ini sangat pas. Apa perlu sekalian tubuh lo yang mau ditaruhin?"

Gue nggak sebrengsek itu, walau posisi gue sekarang benar-benar seperti cowok brengsek. Gue pengen respon dari dia, tapi dia tetap diam.

Luca benar-benar membuat gue berpikir keras untuk menghadapinya.

"Ah, gue baru ingat dengan beasiswa lo-"

"Apa mau lo?"

Akhirnya, gue menerima responnya. Terdengar tegas pada ucapannya. Gue menariknya lagi untuk lebih dekat ke arah gue.

"Simple. Laksanakan taruhan lo dengan sepenuh hati." Jelas gue akhirnya. Lagi-lagi, nggak ada tanggapan dari dia.

"Gue anggap diam lo sebagai ucapan ya."

Adam's Ice GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang