Waktu menunjukkan pukul 06.50. Gue sedikit mengantuk karena begadang ngerjain tugas Matematika semalam.
Sekali lagi gue tekankan, gue juga manusia biasa yang lupa dengan tugas dan kewajiban gue sebagai pelajar. Walau masih 10 menit lagi upacara dimulai, gue merasa kalau hari ini gue telat.
Benar, gue jarang datang jam segini.
Pagi yang cukup normal dengan kebiasaan gue di sekolah. Menyapa guru, siswa yang gue kenal, dan beberapa kakak kelas.
"Bangun kesiangan?"
Atensi gue mengarah ke seseorang yang merangkul gue tiba-tiba. Dia kak Yoshi.
Tumben dia juga datang jam segini?
"Iya, kak. Semalam, gue lupa kalau ada tugas Matematika. Akhirnya, gue begadang buat selesaikan. Kakak sendiri, telat juga?" Tanya gue.
Benar. Kak Yoshi tipe orang yang jarang datang jam segini. Lebih jarang dari gue. Apalagi, dia merupakan ketua OSIS. Seluruh perilakunya benar-benar sangat menggambarkan ketua OSIS yang tertib dan tentunya idaman oleh guru.
Dan idaman para siswi di sekolah ini.
"Iya. Gue semalam habis ngerjain laporan akhir masa jabatan gue. Oh, iya. Gue masukin nama lo di calon anggota OSIS periode berikutnya. Gabung yah."
Langkah gue terhenti. Kak Yoshi juga mulai melepas rangkulan di bahu gue dan menatap gue.
Kini, posisi kita berdua saling berhadap-hadapan.
"Kok gitu? Kurang peminat, kak?"
Setahu gue, banyak siswa-siswi di sekolah ini yang memperebutkan kursi OSIS. Tapi, nggak semudah itu, karena persaingan dan kualifikasi OSIS yang tergolong sulit.
Dan gue nggak menyangka kalau gue bakal ditawari salah satu kursi OSIS. Terlebih, ketua OSIS yang menawarinya.
"Nggak. Gue pakai jalur undangan buat lo. Tetap bakal ada seleksi dan pertimbangan lainnya nanti. Kalau lo dianggap mampu dan lolos verifikasi dari anggota OSIS dan Wakasek Kesiswaan, yah lo resmi jadi anggota. Lagian, bukan hanya gue yang punya pegangan jalur ini. Wakil ketua, sekretaris, dan bendahara OSIS juga punya pegangan jalur ini."
"Terus, wakil sekretaris dan wakil bendahara nggak dianggap?"
Kak Yoshi menepuk bahu gue. Nggak sakit, tapi bunyinya itu loh. Gue sampai mengusap bahu gue.
"Penggunaan bahasa lo ada yang lebih baik lagi? Bukan nggak dianggap. Cuman, kewenangan mereka untuk hal kayak gini nggak ada. Kalaupun ada, palingan mereka berbagi pendapat dengan sekretaris dan bendahara. Itupun, sempat menjadi pertimbangan juga untuk pegangan jalur ini. Lo paham 'kan? Sekarang, lo pikirin dulu. Nanti gue infoin lebih lanjut lewat chat kalau lo setuju." Jelas kak Yoshi dan gue balas dengan anggukan.
"Oke, nanti-"
Atensi kita berdua tertarik ke arah kantung plastik yang berasal dari...
"Tumben, Ca."
Luca
Gue hanya menatapnya. Nggak memperhatikan percakapan mereka. Bahkan, sampai kak Yoshi menerima kantung tersebut hingga dia pergi dari hadapan kita berdua, gue tetap menatap kepergiannya.
"Lo mau, Dam?"
Mata gue beralih ke arah kak Yoshi dengan kantong plastik yang berada di tangannya. Plastik berisi beberapa cemilan.
"A-ah, tapi itu dari Luca, kak." Walau secara tersirat, gue menolaknya dengan halus.
"Nggak apa-apa. Ini kebanyakan buat gue." Tapi, kalau ditawari juga gue nggak menolaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam's Ice Girl
Fiksi PenggemarKarena kekalahannya dalam permainan TOD di hari pertama awal semester genap, Adam Kalandra mau tidak mau harus menerima usulan dare dari teman-temannya yang kini berubah menjadi taruhan mereka dalam waktu 45 hari. Isi taruhannya, membuat seorang Rat...