D-12

18 0 0
                                    

"Ca."

Dia berbalik, hanya menatap gue sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya menuju perpustakaan. Buku cetak Biologi, buku tulis, binder, dan tempat pensil yang berada dipelukannya, bisa gue yakini kalau dia memang pergi ke perpustakaan.

Yah, didukung juga dengan tempat kita berdua yang berada di persimpangan koridor yang menghubungkan wilayah bebas, aula, dan perpustakaan.

Buat apa coba Luca ke aula bawa buku berat-berat?

Mengenai masalah kemarin, masalahnya nggak selesai dan inilah alasan gue menemuinya sekarang, setelah jam pulang sekolah.

Saat jam istirahat? Gue berada di kelas buat menyelesaikan pr yang lupa gue kerjakan.

Gue juga manusia, tidak luput dari sifat manusia yang satu ini.

Mengenai sikap gue yang kemarin, biar gue ungkapkan salah satu fakta tentang gue.

Gue nggak suka kalau bantuan gue ditolak dan diganggu saat gue sedang konsentrasi ngerjain tugas.

Dan kemarin, Luca melanggar 2 hal itu.

Emosi? Tentu saja. Gue hanya berniat membantu dan gue juga sudah sepakat di awal taruhan dengan dia, kalau Luca jalan sama gue, otomatis apapun yang ingin dia beli, gue bakal turutin (Walau nggak semuanya). Ya kali gue turutin semuanya. Kalau tiba-tiba Luca ngelunjak dan pengen minta beli rumah, itu namanya nggak tahu diri.

Gue yang memulai dan mengajaknya buat menyepakati taruhan ini. Hitung-hitung juga sebagai permintaan maaf gue jika dia tahu kalau gue jadiin dia bahan taruhan di geng gue.

Jujur. Semenjak gue ketemu Luca, di lubuk hati gue yang paling dalam, gue merasa bersalah dan kasihan dengan dia. Gue pengen lihat dia tersenyum yang ditujukan ke gue, seperti senyum yang dia berikan ke bu Yuna. Dan gue nggak pengen melihat ketakutannya seperti beberapa hari lalu.

Suka? Tidak, gue hanya ingin membantunya dan yang gue lakukan hanya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama teman.

Benar, gue pengen menjadi teman yang bisa Luca andalkan seperti Juli.

"Ca."

Gue mengikutinya sampai ke meja di mana Luca duduk dan mulai membuka lembar demi lembar buku yang ia bawa tadi, serta mengambil pulpen di tempat pensilnya.

Luca masih bergeming, menghiraukan gue. Untungnya, dia nggak mengusir gue seperti beberapa hari lalu.

Gue duduk di seberangnya dan terdiam menatapnya. Mengatur kalimat yang ingin gue utarakan.

"Gue minta maaf."

Gue memperhatikan sikap dan gerakannya yang tiba-tiba berhenti dari aktivitas menulisnya. Dia nggak melihat gue. Fokusnya tetap terarah ke buku miliknya. Gue menarik nafas sebelum mengeluarkan kalimat berikutnya.

"Gue sadar kalau gue salah, tapi nggak sepenuhnya itu kesalahan gue. Gue kesal dengan sikap lo kemarin. Padahal, gue hanya berniat membantu lo."

Terdengar frontal, tapi gue pengen Luca tahu tentang sikap gue kemarin. Gue jujur dan apa adanya. Jika Luca tambah kesal dan merasa tersinggung, sepertinya gue bakal menyerah.

Gue menyerah dengan sikapnya dan taruhan ini dengan geng gue.

Gue nggak suka dengan orang yang merasa dirinya tetap benar tanpa memikirkan perasaan atau pendapat orang lain. Nggak apa-apa jika seseorang berpendirian teguh, tapi setidaknya lo juga harus mendengarkan pendapat orang lain dan menghargainya dengan penuh pertimbangan.

"Di awal taruhan, kita sudah sepakat 'kan tentang jalan sama gue? Perlu gue ulangi? Oke, gue ulangi. Selama lo jalan sama gue, gue bakal tanggung makan, minum, dan lain sebagainya yang sifatnya masih masuk akal dan cocok di kantong pelajar."

Adam's Ice GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang