D-18

9 0 0
                                    

"Ca, ayo."

Setelah kejadian di atap beberapa hari lalu, sikap Luca seperti sedia kala. Dingin. Tapi, gue merasa ada perubahan yang ditunjukkan dan gue bangga.

Dia mulai menerima kehadiran gue.

Gue nggak bohong dengan informasi ini. Luca beneran menerima kehadiran gue. Contohnya, setiap gue ke kelasnya untuk mengajaknya ke kantin. Kalau bukan gue yang menunggunya di depan kelasnya, dia yang menunggu gue. Walaupun, dia selalu memimpin jalan alias dia yang jalan terlebih dahulu.

Saat sampai di kantin. Seperti biasa, dia nggak banyak merespon apapun dan tetap makan dengan tenang. Tetapi, setiap gue memberikan lauk milik gue, dia nggak menolak dan langsung memakannya.

Dia juga nggak menolak kehadiran gue ketika gue ikut belajar bersamanya di perpustakaan. Bahkan, ketika gue bertanya dan memintanya untuk mengajari materi yang nggak gue paham, dia tetap melakukannya. Walau irit ngomong, gue tetap memahami maksud penjelasannya.

Mungkin, karena gue juga yang cepat tanggap.

Begitu pula sebaliknya. Walau nggak meminta, gue bisa melihat dari gesturnya kalau dia kesulitan dengan materi yang dia hadapi.

Saat ini, kita ber-7 (Gue, Luca, Juli, Jauzan, Jay, Teguh, dan Kai) berada di kantin dan menikmati makanan kita masing-masing sambil ngobrol dan bercanda, di tempat yang sekarang benar-benar menjadi spot kami.

"Eh, lo jadi ambil tawaran kak Yoshi?"

Gue udah pernah bilang kan sedekat apa gue dengan geng gue? Bahkan, tawaran dari kak Yoshi gue ceritain ke mereka.

"Masih gue pikirin. Tapi, kak Yoshi butuh keputusannya sebentar malam. Hahhh... Kira-kira, gue pantes nggak yah jadi anggota OSIS?" Monolog gue.

"Kalau menurut gue, pantas. Apalagi, semua orang tahu siapa lo dan keluarga lo."

Begini yah yang dirasakan kak Woozi waktu merintis usahanya tanpa bantuan dari keluarganya?

Gue nggak mau menyalahi keluarga gue, karena gue sangat sayang mereka. Bahkan, gue tahu kalau gue nggak bisa seperti sekarang kalau bukan karena mereka.

Yang jadi masalahnya, haruskah selalu melibatkan keluarga gue untuk segala sesuatu yang gue lakukan?

Benar, gue terkadang merasa tertekan dengan label keluarga gue.

Ingat, terkadang.

"Nggak usah terima kalau lo merasa tertekan karena label keluarga lo."

Gue memandang Luca yang makan dengan tenang. Kemudian, gue mengarahkan pandangan ke arah lainnya yang sedang bercanda dan berbalik lagi menatap Luca.

"Gue pamit."

Makanannya telah habis dan dia pergi meninggalkan kami yang berada di meja ini. Walaupun dia langsung pergi setelah makanannya habis, dia nggak lupa untuk pamitan.

"Gue juga pamit. Dadah semuanya. Ca, tungguin." Pamit Juli, sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Luca.

Cukup lama gue memikirkan sesuatu sebelum gue ikut berdiri, meninggalkan teman-teman gue yang masih bercanda. Tenang, gue sempat pamitan, walau gue mendengar Teguh yang memanggil gue dan gue menghiraukannya.

Gue mengejar Luca dan Juli yang sudah memasuki area koridor kelas.

"Ca."

Mereka berdua berhenti dan berbalik menatap gue yang kini sudah berada dihadapan mereka.

"Lo kenapa, kak? Ada yang kelupaan?"

"Gue mau bicara dengan Luca."

Tentunya, Juli paham maksud gue. Walau, sebelum dia pergi, dia memperhatikan kami berdua yang saling berhadapan.

Adam's Ice GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang