27 • Dipaksa

2.1K 212 112
                                    

TOXIC🥀

Dalam suasana hati yang remuk, ada sedikit kebahagiaan yang datang menghampiri, itulah yang Lavy rasakan saat ke datangan Hea sejak tadi pagi. "Itu alasannya kenapa gua gak ngebolehin lu mutusin GPSnya, udah gua tebak kalau Hanna bakalan ngelakuin hal buruk ke lu," jelas Hea. Jika ada yang bertanya bagaimana Hea tahu saat Hanna menyiksa Lavy di gedung tak berpenghuni itu? Jawabnya singkat, karena Hea selalu memantau Lavy dari GPS yang ia pasangankan di ponsel sang perempuan.

Lavy tersenyum simpul sembari mengangguk pelan sebelum berkata. "Makasih, yah. Hea... Lu udah ngejagain gua, selalu ngeluangin waktu buat gua, lu udah nurutin kemauan gua, dan lu udah ngelakuin banyak hal yang seharusnya bukan jadi tugas lu. Thank you."

"Gak capek apa?" Tanya Hea.

Lavy sedikit mengerutkan dahinya, "Capek kenapa?" Tanya Lavy kembali.

"Makasih... Mulu. Gua yang nerima makasihnya aja udah bosan."

"Gua gak pernah bosan ngucapin makasih sama lu, Hea."

Hea meraih tangan Lavy lantas mengelusnya dengan pelan. "Gua ngebantuin lo itu Ikhlas tanpa ada paksaan, jadi gak usah ngerasa gak enakkan mulu, deh. Yang ada malah gua yang gak enakan kalo kayak gini caranya."

Lavender mengalihkan pandangannya dari Hea, kemudian menatap lekat langit-langit ruangannya. "Coba aja dulu gua gak jadi pergi, mungkin ini gak akan pernah terjadi," ucapnya kembali meneteskan air matanya.

"Lo nangis?" Tanya Hea lantas menghapus air mata yang membasahi wajah mulus Lavender, "Vy... Semua itu udah di atur sama Tuhan, kita sebagai umatnya cuma bisa berencana. Selebihnya, Tuhan yang atur. Mungkin sekarang kita masih di izinin buat ngehirup udara segar, ketawa, bahagia, sedih, kecewa, nangisin dia yang udah ninggalin kita, tapi kita gak tau esoknya masih merasakan hal yang sama, atau malah sebaliknya, bisa jadi kita yang jadi bahan tangisan. Bukankah begitu? Jalan hidup siapa yang tau, Ve.." jelas Hea panjang lebar. Lavender terdiam. Ia tak ingin banyak merespon penjelasan dari Hea karena jujur saja dia masih belum mengikhlaskan semua yang telah terjadi padanya.

Tok... Tok..

Pandangan keduanya kini beralih pada pintu yang berbunyi ketukan dari luar ruangan. Lavender yang tadinya menyenderkan punggungnya lemah kini berdiri tegak kala maniknya menangkap siapa yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. "Daddy!" Ucap Lavender dengan mata yang berbinar bahagia.

"Lavender?" Beom lantas memeluk anaknya yang kini menangis bahagia karena kedatangan sang empu. Hea yang melihat interaksi keduanya pun keluar dari ruangan itu untuk membiarkan keduanya berbincang dengan nyaman.

Lavender melonggarkan pelukannya dan menatap lekat manik Beom. "Daddy ... Lavender rindu banget sama daddy... Daddy ke mana aja? Daddy gak rindu sama Lavy? Daddy gak sayangagi kah sama Lavy?"

Beom mengulas senyuman sembari mengelus puncak kepala sang anak. "Daddy rindu... Banget sama putri daddy, gimana bisa daddy gak sayang sama anak kesayangan daddy. Maafin daddy yah, nak... Maafin daddy yang gak tau tentang kondisi kamu, maafin daddy yang gagal ngejaga ka--"

"Daddy... Gak usah di ungkit lagi, yah? Itu bukan salah daddy, itu cuma kelalaian Lavy yang gak bisa ngejaga diri sendiri. Ini semua salah Lavender dad," Lirihnya. Lavender tidak memberi tahu Beom pasal dirinya yang di sakiti oleh Hanna, ia hanya mengizinkan Heza memberi tahu pada orang tuanya jika Lavy keguguran di sebabkan jatuh dari tangga.

Beom terdiam sejenak sebelum menanyakan sesuatu yang membuat Lavender terdiam mematung. "Kamu mau lanjut kuliah? Atau terikat suci dengan Heza?" Tanya daddynya sepontan. Kenapa Beom menanyakan itu di saat waktu yang tidak tepat? Apakah dia tidak melihat bagaimana kondisi Lavy saat ini? Lavender tersenyum menyelimuti kegugupannya. Sebenarnya ia bingung harus menjawab seperti apa, dari tatapan Beom terpancar kekecewaan dan kemarahan yang tertutupi senyuamnya, dan ada sedikit rasa takut dari lubuk hati Lavender kala suara Beom memelan dan bertanya dengan serius.

TOXIC [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang