Hafiz Yudhistira Pov
Hafiz Yudhistira itu nama lengkapku, putra tunggal dari pasangan Hariz Yudhistira dan Sonia Yudhistira. Meski terlahir di desa dan dari keluarga sederhana tak menyurutkan tekadku untuk menjadi garda terdepan menjaga ibu pertiwi. Bisa di katakan aku pemuda yang ambisius dalam meraih apapun yang sudah menjadi impian, apalagi setelah aku mengenal bang Alvand, Kasuh yang selalu membimbingku, memperlakukan aku layaknya seorang adik, bahkan banyak yang bilang jika aku seperti bayang - bayang bang Alvand.
Jujur saja, aku memang kagum dengan bang Alvand, beliau berasal dari keluarga yang tak kekurangan apapun, bisa dibilang sampai tujuh turunan pun tak khawatir kekurangan, tapi bang Alvand justru meniti karir sendiri, melepas semua embel - embel nama keluarga yang karirnya cermerlang di dunia medis. Ya, bang Alvand putra dari dokter ternama dan juga pemilik rumah sakit, tapi bang Alvand justru berkarir di militer.
Aku begitu dekat dengan bang Alvand dan juga keluarga, itu sebabnya aku di beri kebebasan keluar masuk rumah bang Alvand. Sebuah kebebasan yang menjadi awal petaka buatku, bagaimana tidak, jika aku yang sudah terbiasa keluar masuk rumah dan juga di beri kamar khusus untuk menginap, jika aku malas pulang ke barak bujang ataupun saat libur pulang ke rumah, malah apes karena ketidaktahuanku tentang anggota baru yang tinggal di rumah bang Alvand, tepatnya di kamar yang biasa aku tempati.
Wajar jika aku tak tahu, aku baru saja pulang pelatihan, harusnya istirahat di barak, tapi entah kenapa aku merindukan kamar yang berada di rumah bang Alvand, itu sebabnya selesai bersih - bersih aku segera menuju rumah bang Alvand.
Andai saja aku tahu jika sudah ada yang menempati kamar itu, tetap berada di barak akan menjadi pilihan terbaik pastinya, asrama damai tanpa keributan dan aku juga tidak akan menerima hukuman dari bang Alvand.
Aliqa, nama gadis yang sudah di amanatkan bang Alvand untuk aku latih, sebagai hukuman karena sudah membuat gaduh asrama. Gadis keras kepala yang selalu membuatku mendadak hipertensi, bagaimana tidak, ada saja perkataan dan juga ulahnya yang membuatku kesal, bahkan nyaris membuatku kena serangan jantung saking paniknya.
Dia memang menyebalkan, tapi entah kenapa aku selalu ingin menemuinya, meski setiap kali bertemu sudah bisa dipastikan akan terjadi perang, tetap saja membuatku ingin menemuinya, aku juga bingung kenapa bisa seperti ini, tapi begitulah faktanya, bahkan aku bingung sendiri setiap kali melihatnya atau hanya sekedar mendengar namanya disebut saja sudah membuat jantung berdetak makin cepat, aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu karena seumur hidup, baru kali ini aku merasakannya.
Aku bukan jones seperti bang Alvand saat dulu masih bujangan, sejak SMP aku sudah memiliki pacar, bahkan bisa di katakan sering gonta - ganti karena aku mudah bosan, semua sama tak ada yang special dan berhasil membuat jantungku berdetak seperti saat bersama Aliqa.
Memang benar, hanya bersama Aliqa tubuhku memberi respon yang berbeda, aku sendiri benar - benar bingung, tapi aku yakin ini bukan cinta, bagaimana bisa dikatakan cinta jika setiap bertemu saja selalu cekcok, anak seumuran Zivand saja menyebut kami berdua Tom & Jerry karena memang tak pernah akur, gadis itu selalu saja membuatku kesusahan dan berada di posisi yang serba salah, ibarat kata maju kena mundur apalagi.
Aliqa, Aliqa, Aliqa, saat ini nama itu benar - benar memenuhi kepalaku, membuat konsentrasiku dalam bekerja terganggu. Bayangkan saja, padahal tak terlihat mata tapi dia berhasil membuatku kesal, apalagi jika dia nyata berada di depanku dengan wajah jutek dan jangan lupakan bibirnya yang tak ada hentinya bicara, bukan hanya membuatku kesal tapi juga emosi jiwa raga.
Aku memang sedang tidak bertemu dengannya, bukan karena aku yang sedang ada tugas luar, tapi karena dia yang sedang uji Panpus.
Pertemuanku dengan Aliqa bukan lagi hitungan hari, tapi sudah bulan, setiap waktu luangku lebih banyak bersama Aliqa, sesuai instruksi bang Alvand, kalau aku harus benar - benar memastikan agar Aliqa siap menjalani serangkaian tes, karena seringnya bertemu itulah yang membuat kepalaku terus saja dipenuhi oleh namanya, bahkan dengan kurang ajarnya, aku merasa ada yang kurang, aku merasa sepi meski di tengah keramaian, hanya wajah gadis nakal itu yang terus saja berkelebat di kepalaku.
"Fiz." Plak, aku langsung berjingkut kaget saat bahuku ada yang memukul, aku menoleh ke samping kananku.
"Siap." Jawabku yang langsung berdiri memberi hormat pada bang Andi, saat ini masih di dalam lingkungan kerja, aku sadar diri meski sudah kenal dekat dan di anggap keluarga tak boleh lupa, jika aku bawahan dan bang Andi atasanku.
Bang Andi mengangguk, "Duduk, nggak usah terlalu formal, hanya ada kita berdua." Kata bang Andi, aku hanya mengangguk saja, menuruti bang Andi untuk duduk di samping beliau.
"Kenapa?"
"Kenapa, apanya bang?"
"Lu kenapa? Di panggil dari tadi nggak nyaut sama sekali, mikirin apaan?"
"Oh, nggak bang, nggak ada yang Hafiz pikirin ko."
"Aliqa?"
Aku langsung menoleh, menatap bang Hafiz yang berada di sampingku, "A ... Aliqa? Ma ... maksud abang?"
Bang Andi mengangguk, "Iya Maliqa Paradina alias Aliqa, lu galau karena mikirin dia?"
"Mmm ... nggak ko bang, ya kali Hafiz mikirin dia, memang dia siapa Hafiz."
"Lah itu yang mau gue tanya, Aliqa itu siapa lu sih? Gue penasaran, bukan hanya sekarang, tapi setiap Aliqa nggak ada, sudah pasti lu bakal banyak bengong, gue heran banget."
"Apaan sih bang, itu perasaan abang aja kali." Aku berusaha setenang mungkin, jangan sampai bang Andi tahu, jika saat ini jantungku sudah mulai memberi reaksi berlebih, semua karena nama gadis nakal itu di sebut, aku benci ini semua, aku benci karena aku tidak lagi bisa memahami diriku sendiri, apa yang aku rasakan, kenapa aku begini, sumpah aku tak lagi bisa mengetahuinya.
"Dusta."
"Apanya yang dusta bang? Hafiz bilang jujur."
"Jujur dari mana? Lu bicara aja udah ketahuan bohongnya Fiz, lu kenapa sih? Lu suka sama Aliqa?"
"Ba .... "
"Jawab, lu suka apa nggak?"
"Hafiz ...."
"Lu kenapa? Bingung mau jawab apaan?"
Perlahan aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan bang Andi, aku memang bingung dengan semua ini.
"Boleh abang tanya?" Aku mengangguk memberi jawaban, "Pernah nggak, kalau tubuh lu, terutama jantung lu itu ngerasain sesuatu yang beda jika dekat dengan Aliqa? Mmm ... maksud abang, kaya deg degan gitu, atau ngrasain hal lainnya?"
"Hafiz ...."
"Jawab pernah atau nggak, Lettu Hafiz Yudhistira!"
"Siap, pernah bang." Jawabku cepat, membuat bang Andi tersenyum, aku sendiri bingung kenapa bang Andi tersenyum.
Bang Andi mengulurkan tangannya, aku masih bingung dengan apa yang dimaksud bang Andi, sampai tanganku di tarik dan bang Andi menyalamiku, "Selamat, karena itu tandanya lu sedang jatuh cinta."
"Hah, apaan bang? Siapa yang jatuh cinta?" Tanyaku bingung.
"Lu lah, masa gue." Jawab bang Andi, melepas tangan kami yang bertaut, kemudian berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan aku yang masih kebingungan, "Jangan kebanyakan mikir, Aliqa kembali, cepat tembak dia." Kata bang Andi sambil terus berjalan menjauhiku.
Tembak Aliqa? Maksudnya bang Andi apaan, kenapa nembak? Memangnya aku ini kenapa? Ah, bang Andi kenapa mirip sekali dengan jelangkung, datang tak di undang, perginya pun langsung aja tanpa di antar, hanya meninggalkan banyak tanya dan juga rasa penasaran padaku.
💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
🥰💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Cita Setinggi Asa
RomanceMaliqa Paradina, biasa di panggil Aliqa, gadis berusia 18 tahun yang memiliki cita setinggi asa, menjadi melati pagar bangsa, mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk ibu pertiwi, seperti abangnya yang telah gugur saat menjadi garda terdepan menjaga i...