Apa ini?

443 65 6
                                    

Selamat Pagi 😊
.
Up Calon Kowad
.
Semoga suka
.
Jangan lupa Votement'a
Agar author tahu kalian semua suka ceritanya atau nggak
Nggak sulit kok cuman tekan ☆ doang
Kalau sudi comment juga boleh, biar author makin semangat 😊
.
Happy reading 😘
.
.
.
.

"Ayo Aliqa sedikit lagi, semangat Aliqa."

"Mbak, ayo ayo."

Suara teriakan dan tepuk tangan dari keluarga baruku yang saat ini tengah menemaniku berlatih di lapangan, membuat aku makin semangat. Sore ini memang jadwalku latihan bersama papi Nendra yang juga ikut berlari di belakangku, mereka semua semangat melatihku, aku tak boleh mengecewakan mereka, meski rasanya sudah sangat ngos - ngosan, hampir saja aku jatuh tersungkur, tapi tetap saja aku berlari sekuat mungkin untuk mencapai finish, sesuai target waktu yang harus aku capai.

"Horeee."

"Good job, Aliqa."

"Mbak Aliqa kereeeen."

Suara tepuk tangan dan juga pujian kembali aku dengar saat aku sudah mencapai finish, aku langsung terduduk, meluruskan kaki, mencoba menormalkan nafasku yang masih ngos - ngosan, rasanya nyawaku seakan ingin lepas dari ragaku.

"Num mbak." Aku tersenyum, saat tangan mungil Zivand menyodorkan botol air mineral, aku menerimanya.

"Terima kasih abang Zi." Kataku sambil menyubit pelan pipinya.

"Pan mbak, no Zi!" Protesnya, membuat aku dan yang lainnya tertawa, entah kenapa aku suka memanggilnya abang Zi, tapi Zivand selalu menolaknya, dia bilang Zi itu untuk perempuan, sedangkan dia pria tampan yang akan menjadi rebutan para perempuan, bukan hanya aku yang terkejut tapi ayah dan bunda juga ikut terkejut saat mendengar perkataan Zivand, entah menurun dari mana tingkat kepedean Zivand yang terlalu tinggi itu, meski tertutupi aura cool khas ayah Alvand.

"Iya abang Zivand yang lebih tampan dari ayah dan papi Nendra." Kataku, Zivand langsung tersenyum dan mengacungkan dua jempolnya.

Aku meminum air mineral pemberian Zivand, papi Nendra dan mami Vina ikut duduk di sampingku, duduk di atas rumput lapangan.

"Besok di coba lagi ya, sudah pas sih, tapi papi kurang puas, kalau bisa berkurang beberapa detik lagi, harus persiapan dari sekarang siapa tahu pas di sana ada yang lebih cepat." Kata papi Nendra, aku mengangguk.

"Siap pi." Jawabku.

Aku juga merasakan hal yang sama, kurang puas dengan hasil latihan, meski semua sudah sesuai dengan target yang harus aku penuh. Berlari memutari lapangan asrama yang besar ini, sebanyak lima kali dibawah terik matahari sore, meski tak sepanas siang tadi, nyatanya tetap saja membuat tubuhku mandi keringat.

"Pi, kalau perempuan ada survival juga? Apa hanya laki - laki?" Tanya mami Vina.

"Ada, sama mi, perempuan sama laki - laki."

"Oh, mami pikir kalau perempuan nggak pi." Kata mami kemudian menatapku, "Tuh Aliqa, mending jadi dokter kaya mami, nggak ada survival, semua kebutuhan ada dan terjamin, mami nggak tega bayangin Aliqa ditengah hutan nggak bawa bekal makanan apapun, harus bisa bertahan hidup dengan memakan apapun yang di temui di dalam hutan, oh ya ampun Aliqa mami merinding nih." Kata mami Vina membuatku tersenyum.

Survival, salah satu latihan yang bukan hanya untuk pria tapi juga wanita, salah satu latihan di alam terbuka, lebih tepatnya di dalam hutan, dimana pada tahap latihan ini kita dituntut harus bisa bertahan hidup dengan memakan apapun yang bisa dimakan di dalam hutan, karena survival tidak membawa bekal makan minum, dulu bang Bara pernah bercerita, saat sedang survival bukan hanya daun yang di makan tapi juga ular, biawak, burung dan apa saja yang di temui dan sekiranya bisa di makan akan di makan, awalnya aku mual mendengar cerita bang Bara, tapi sejak aku memantapkan diri untuk menjadi bagian dari korps wanita angkatan darat, aku mulai menyukai apapun yang bang Bara ceritakan, meski terdengar sangat menjijikan.

"Semua pilihan yang diambil ada resikonya mi, seperti mami yang memilih papi, mami harus menerima resiko hidup selalu bahagia dihujani banyak cinta dari papi, begitu juga Aliqa yang ingin jadi kowad, harus menerima resiko beratnya selama latihan dan nanti saat pendidikan." Kata papi Nendra, membuat pipi mami terlihat merona.

Bukan hal baru buatku, melihat papi Nendra menggoda mami, aku suka melihat papi yang selalu manis pada mami, bisakah aku memiliki suami seperti papi Nendra, ayah Alvand atau papah Andi yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya lebih dari apapun.

"Bagaimana Aliqa, masih lanjut?" Tanya papi.

"Apanya pi?" Tanyaku bingung.

"Mengejar impian menjadi korps wanita angkatan darat, apa sudah berubah cukup jadi pendamping saja, alias ibu persit?" Tanya papi tersenyum.

Aku pun tersenyum, "Lanjut pi, Kowad bukan ibu persit." Jawabku membuat papi tertawa.

"Okelah anak gadis, tetap semangat berlatih, raih impianmu, papi dan yang lain hanya bisa membantu dengan melatih sebisa kami dan juga mendoakan, semua tetap ada di diri Aliqa, berhasil atau tidaknya hanya Aliqa yang bisa, karena Aliqa yang benar - benar berjuang saat seleksi nanti."

Aku mengangguk, "Siap pi, terima kasih karena sudah mau melatih Aliqa, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan papi, mami dan semua keluarga yang sudah bersedia menerima juga memberikan kasih sayangnya pada Aliqa." Kataku tulus dan tak terasa mataku tiba - tiba saka terasa panas, air mataku tak lagi bisa aku bendung, aku sangat rapuh jika menyangkut keluarga.

Mami mendekatiku, memeluk tubuhku yang saat ini sudah bergetar karen berusaha menahan tangis, tapi pada kenyataannya gagal, karena pelukan dari mami Vina justru membuat air mataku semakin deras mengalir tanpa perlu dikomando.

"Sudah jangan menangis, Aliqa sudah menjadi bagian keluarga mami, tak perlu berterima kasih karena kami semua tulus menyayangi Aliqa, jangan kecewakan kami, buktikan pada mereka yang sudah merendahkan dna menyakiti Aliqa, jika Aliqa bisa dan mampu, Aliqa tidak sendirian, ada kami yang akan selalu ada untuk Aliqa baik suka maupun duka." Kata mami Vina, melepas pelukannya, menghapus air mataku yang masih saja mengalir.

"Berjanjilah pada mami, mata indah ini hanya boleh mengeluarkan air mata kebahagiaan, bukan air mata kesedihan." Kata mami menatapku, "Aliqa mau berjanji demi mami? Bukan hanya mami tapi bunda, mamah dan semua akan selalu berusaha sebisa mungkin membuat Aliqa bahagia, apa Aliqa mau berjanji?" Lanjut mami lagi.

Aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum, "Aliqa janji mi." Jawabku, meski masih ada keraguan apa aku bisa dan mampu untuk tidak menangis lagi, tapi demi mereka yang sudah berjuang untuk diriku, bagaimanapun caranya aku harus bisa.

"Calon kowad harus kuat, nggak boleh lemah dan cengeng." Kata papi, aku kembali mengangguk.

"Gimana kalau ketemu bang Hafiz ya pi, sepertinya Aliqa bakal nangis terus karena wajah angkernya." Kata mami sambil tertawa geli, begitu juga dengan papi yang ikut tertawa.

Hafiz, lagi - lagi nama itu yang di sebut, aku jadi semakin penasaran seperti apa orang yang bernama Hafiz dan kenapa setiap kali aku mendengar nama Hafiz ada rasa yang berbeda, entah rasa apa ini, aku belum pernah bertemu dengannya tapi apa ini?

"Eh pi, itu bang Hafiz bukan?" Tanya mami tiba - tiba, menunjuk ke arah belakangku, seperti papi, akupun ikut menatap ke arah tunjuk mami.

"Iya mi, si muka anyep ternyata sudah sampai." Jawab papi

Aku masih menatap lima pria berseragam loreng yang sedang berjalan, aku tidak tahu mana yang bernama Hafiz, wajah mereka berlima juga masih tertutup warna loreng, tak kalah dengan seragam mereka, semakin membuatku penasaran, apalagi bukannya berjalan ke arah kami yang sedang duduk, malah berbelok ke arah penghubung barak bujang.

"Bagaimana Aliqa? Kamu siap bertemu bang Hafiz?"

💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
🥰💞

Cita Setinggi AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang