"Mau pesan apa?" Tanyaku pada Aliqa, saat kami sudah sampai di Restoran.
"Apa saja, samakan sama bang Hafiz tak masalah." Jawabnya, aku mengangguk, memilihkan beberapa menu untuk kami berdua dan memesannya pada waiters.
Aku sengaja memilih tempat di tepi pantai, menurutku ini tempat yang pas, angin malam yang menyegarkan, ditambah dengan deburan ombak juga alunan musik yang menambah suasana makin berbeda. Aku menatap Aliqa yang masih fokus menatap ke laut, sepertinya dia sangat menyukai laut, sampai lupa ada aku di sampingnya.
"Ekhem, mau turun ke bawah?" Tanyaku, membuat Aliqa menatapku, kemudian menggeleng, "Sepertinya kamu suka pantai."
"Kelihatan ya?" Aku mengangguk, Aliqa kembali menatap pantai, "Banyak kenangan di pantai, saat dulu bersama bang Bara, pantai membuatku selalu rindu bang Bara."
"...."
"Kami hanya berdua, setelah kepergian kedua orangtua kami, jadi ya mungkin bisa dikatakan wajar, jika kenanganku lebih banyak bersama bang Bara ketimbang kedua orangtuaku." Aliqa menatapku, "Kalau abang lebih banyak dengan siapa? Abang 'kan anak tunggal, jadi lebih banyak sama orangtua atau malah sama mbak mantan?" Tanya Aliqa menaik turunkan kedua alisnya, entahlah apa maksud dia bertanya seperti itu, kenapa juga harus membawa - bawa mantan.
"Tak ada yang perlu di kenang untuk seseorang yang sudah bergelar mantan."
"Masa sih."
Aku mengangguk saja, tak ingin memberi jawaban lain, karena menurutku tidak penting, tujuanku mengajak Aliqa keluar bukan untuk membahas mantan, tapi untuk meminta jawaban atas apa yang aku tanyakan kemarin dan sepertinya Aliqa juga tidak tertarik untuk membahas lagi, sampai waiters datang mengantarkan pesanan dan kami berdua mulai makan dalam diam, aku dan Aliqa sudah terbiasa makan tanpa adanya percakapan, sebab keluarga bang Alvand yang sudah membuat kami terbiasa.
Aku memperhatikan cara makan Aliqa, sungguh dia berbeda dengan para wanita yang pernah aku ajak kencan, pada umumnya mereka kemayu atau sok jaim, makan dengan pelan dan ada juga yang selalu berkomentar pada makanan yang dipesan, kurang inilah kurang itulah, sedangkan Aliqa berbeda, dia menikmati, makan tanpa jaim, tapi tetap beradab dan berkelas, aku melihatnya makan seperti mbak Andriana.
Mataku saat tadi di rumah bang Alvand memang tidak salah, Aliqa memang terlihat cantik, pantas saja dia selalu menjadi topik utama di barak bujang, sayang mereka semua tidak ada yang terang - terangan berani mendekati Aliqa, itu semua karena bodyguard Aliqa.
"Kamu suka cokelat?" Tanyaku saat melihat Aliqa yang sedang menikmati dessert pancake dengan lelehan saus cokelat, bahkan dia terlihat belepotan oleh cokelat, aku mengambil tissu, "Makannya pelan, biar nggak belepotan." Kataku sambil mengelap, namun Aliqa mendakak diam, dia menatapku, netra kami saling bertemu dan bertaut, menatap mata indah Aliqa, membuatku ingin sekali masuk ke dalamnya, mata indah dan jernih yang menyejukkan, perlahan namun pasti menambah detak jantungku yang kian cepat, hingga akhirnya aku yang lebih dulu mengakhiri, jangan sampai aku lupa diri.
"Mmm... maaf, tadi saya...." Aliqa mengangguk.
Rasanya jadi awkward, mendadak jadi serba salah, wanita selalu saja membuatku seperti ini, oh ya ampun sungguh memalukan.
Cukup lama kami saling diam, aku masih bingung untuk mengawali pembicaraan lagi, Aliqa juga entah kenapa mendadak pendiam lagi seperti dulu, apa tindakanku tadi membuatnya marah? Jangan sampai Aliqa marah, misi membawanya keluar malam ini belum berhasil, aku belum mendapatkan jawaban.
Drrrttt drrrttt
Ponselku bergetar, aih siapa lagi yang telfon, aku mengambil ponsel dari saku celana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cita Setinggi Asa
RomanceMaliqa Paradina, biasa di panggil Aliqa, gadis berusia 18 tahun yang memiliki cita setinggi asa, menjadi melati pagar bangsa, mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk ibu pertiwi, seperti abangnya yang telah gugur saat menjadi garda terdepan menjaga i...