37

26 2 0
                                    

Pulang sekolah kami yang merasa dekat dengan Divana menuju rumah sakit untuk melihat kondisi. Tidak banyak hanya 7 dari kami.

Lagi-lagi aku bertemu dengan White yang berdiri di depan pintu dengan seragam SMP.

"Lo nggak sekolah?"

"Sekolah apa enggak, itu bukan urusan lo. Lagian lo nggak lihat gua pake baju apa? pake seragam sekolah."

Aku yang memegang gagang pintu langsung dihentikan olehnya.

"Maksud lo apaan? lo mau buka pintu ini tanpa persetujuan gua? berani banget lo."

"Ya berani lah."

kali ini White benar-benar menghentikanku untuk membuka pintu.

"Kak Pink baru bangun. Dan dia butuh waktu berdua sama bang Black."

"Lo siapa?" tanya Sekrum

"White."

"Ha?"

"White Asmaradina. Adiknya bang Black."

"Keluarga lo emang suka pake warna buat namain anaknya?" tanya Beni.

"Kenapa? apa nama lo pasaran sampe tanya soal nama gua yang unik."

"Asem juga nih cewe. Beda banget sama Black."

"Kenapa?"

Kami menoleh ke arah pintu. Itu suara Divana dari balik pintu.

Terlihat Divana yang berdiri memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

Ada apa didalam sana?

:Divana

Kepalaku serasa ingin meledak mendengar kebenaran dari mulut Black.

"Maaf, Pink."

Air mataku keluar begitu saja. Selama ini Black tahu kematian yang dialami mama dan papaku. Dan itu semua bukan kecelakaan biasa. Itu semua sudah direncakana oleh papanya.

"Pink? jangan menangis."

"Gua nggak nangis."

"Aku mendengar air mata yang jatuh."

Aku terdiam.

"Pink, kamu mimisan?"

"Ha?"

"Aku mencium bau darah."

Aku menyentuh hidungku. Benar, ada warna merah yang mengalir.

"Siapapun diluar panggilin dokter!" seru Black yang terbaring di tempat tidurnya.

Tak butuh waktu lama. Seseorang mulai bermunculan. Tidak, bukan hanya dokter tapi juga, teman-temanku serta adik Black dan tak lupa dengan Raiyan.

Kakiku kehilangan keseimbangannya.

"Divana!"Raiyan menangkapku yang hampir terjatuh.

"Maaf, Pink," ujar Black. "Pink!" Black membuang selimutnya. Tangannya meraba sekitar.

White memeluk Black.

"White, apa yang terjadi sama pink?" tanya Black bergetar. "Air mata, darah, apa yang terjadi pada Pink? dia menangis karena aku?"

"E.."

"Iya. Dia nangis karna lo," jawab Raiyan yang menggendongku ketempat tidur.

"Mohon yang tidak berkepeningan keluar ruangan."

Aku diperiksa oleh dokter setelah teman-temanku keluar ruangan. Hanya White dan Raiyan yang tak pergi.

"Sejauh ini tidak ada masalah serius. Tolong jangan banyak pikiran dulu ya," ujar dokter. "Dan untuk.."

"Jangan bicara disini dokter," seru Black tegas.

"Lanjutkan dokter. Aku ingin mendengarnya."

"Enggak dokter. Ini rahasia antara dokter dan pasien."

"Katakan dokter,"seruku.

"Tidak dokter."

"Katakan dokter," ujarku makin lemah mulai berbaring.

"Pink?"

Aku menutup mulut dengan telunjuk.

"White, Pink kenapa? kenapa tidak ada suaranya. aku hanya mendengar nafasnya."

"Pendengaranmu sangat bagus, sepertinya, pacarmu lelah. Dia sepertinya mulai tidur. Apa dia selalu tidur saat banyak pikiran?"

"Yah, dia selalu tidur di lantai sampai pagi. Biasanya lupa untuk ganti baju."

Aku melirik Black dari ujung mata.

"Apa Pink benar-benar sudah tidur?"

"Ya."

"Kamu masih disitu, Raiyan?"

"Ya, kenapa? gua disini ngejagain Divana."

"Katakan Dokter."

"Karena operasi pengeluaran peluru kemarin, kamu mengalami kelumpuhan sementara pada bagian pinggang kebawah. Semuanya bisa kembali normal. Tapi harus menjalani terapi dengan rutin."

Kami masih diam.

"Untuk lebih lengkapnya akan saya jelaskan di ruangan saya. Saya permisi dulu."

Dokter peri dari ruangan.

"Raiyan, pastikan Pink tidak mengetahui hal ini."

"Apa lo bakal ngilang lagi?"

"Ya, mungkin."

Aku mematung mendengarnya.

"Kenapa lo harus ngilang? lo tau Divana kayak gimana. Dia pasti bakal cari lo," kata Raiyan. "Dia nggak peduli apapun yang terjadi sama lo entah buta atau lumpuh. Gua yakin dia mau nerima lo. Bahkan setelah dia tau kebenaran soal orang tuanya sekalipun. Dia hanya perlu waktu buat nerima kenyataan itu."

"Pink terlalu sempurna untukku, Rai."

Deru nafasku semakin berat.

"Pink kenapa, Rai?" tanya Black cemas. "Bukannya dia sudah tidur?"

"Mimpi buruk mungkin."

Kami masih diam.

"White, tolong pindahkan aku ke tempat yang lain. Aku tidak bisa disini dengan Divana."

"Tapi bang,"

"Tolong, White."

"Bang Black serius?"

"Lo beneran serius mau ninggalin Divana?"

"Ya. Jaga Pink ya, Rai."

"Aku keluar dulu bang."

White pergi meninggalkankan kami.

Aku mengangguk. Raiyan sepertinya mengerti, dia juga akan meninggalkanku dengan Black.

Satu ruangan dengan Black membuatku senang. Tapi dengan beberapa kejadian, membuatku sedih juga.

Selama ini Black tau kematian demi kematian yang ada di keluargaku bukan sebuah kebetulan. Dia tahu dan takut untuk memberitahuku. Dan Kini dia sendiri mengatakannya. Dengan kesadarannya dia akan menghilang dariku. Bukan karena tidak lagi ada rasa untukku tapi ada rasa bersalah yang bersarang di dalam hatinya. Mengalahkan rasa rindu terhadapku.

Aku memiringkan tubuhku menatap Black yang berbaring tanpa ada gerakan apapun. Sejenak aku melihat air mata yang jatuh dari matanya. Ia menangis?  mengapa? karena aku? atau rasa bersalahnya padaku? atau akan menjalani hidupnya tanpaku?

Sementara aku harus apa? aku seolah kehilangan tujuan tanpa Black. Black adalah harapanku. Harapan terakhir yang ku punya. Ia adalah matahariku. Bayangan yang selalu mengikutiku.

Kehilangan orang tua memang menyakitkan apalagi saat tahu jika dibalik itu semua ada orang yang sangat berpengaruh dalam hidup. Black memang tidak melakukannya. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa memaafkannya.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang