13

30 5 0
                                    

:Raiyan

Aku menarik nafas panjang. Mengeluarkannya perlahan. Seseorang mendekatiku. Anak PMR yang bertugas hari ini. Perempuan dengan pakaian rapi dan rambut yang diikat.

"Bilang aja, kamu kenapa, nanti aku cariin obatnya."

"Obat gua itu nggak sembarangan. Bahkan buat nebus obatnya harus pake resep dokter." Jelasku pelan.

"Ya terus gimana dong? Aku nggak bisa ngebiarin kamu kayak gini. Setidaknya buat pereda ajalah." Serunya masih kekeh.

"Daripada lo ributin itu, lebih baik lo diem. Gua istirahat. Nanti juga ilang sendiri."

"Kenapa sih kamu keras kepala banget."

"udah deh. Lama-lama nggak Sembuh nih gua. Malah makin Parah denger Lo ngoceh mulu." seruku semakin kesal.

Dia pergi karena kesal juga denganku. Ku sentuh dadaku. Aku terlalu berlebihan olahraga kali ini. Diperburuk pula oleh obat yang ketinggalan.

Istirahat sepertinya dengan berlangsung. Walaupun aku tidak tau pasti, tapi beberapa hentakan kaki yang melewati UKS terdengar.

Mataku terbuka saat langkah kaki mendekatiku. Anak PMR itu lagi.

"Obatmu ada dimana? Nanti bakal di ambil sama salah satu anak PMR."

"Nggak perlu."

Kedua tangannya mengepal. Dia mengambil oksigen dan mengeluarkannya. Berusaha tenang.

"Atau kamu mau diantar pulang aja?" tawarnya.

"Gua nunggu pulang sekolah aja."

Tangannya mengepal lagi. "Kalo kamu nggak sakit, aku jitak tuh kepalamu."

Aku Menyerah. Sepertinya, aku memang membutuhkan obatku. "Oke deh. Obat gua ada di rumah. Di meja samping lampu tidur."

"Gitu kek dari tadi. Jangan bikin susah orang lain gitu lho."

Ia pergi meninggalkanku. Aku kembali istirahat.

Mataku terbuka saat mendengar langkah kaki yang keras di depan pintu UKS. Ku pertajam pendengaranku. Suara napas yang ngos-ngosan terdengar sangat jelas.

"Ini." Ucap seseorang dari balik pintu.

Napasnya sangat tidak teratur. Bahkan aku mengartikan napasnya dengan napas lari maraton. Tidak. Lebih kacau dari lari maraton. Seperti lari karena dikejar setan.

"Kamu lari?" Tanya anak PMR.

"Gua nggak bisa naik motor ataupun mobil. Angkot juga jarang mangkal di depan sekolah kalo jam segini."

Aku tidak salah dengar? Aku inget suara itu. Itu suara milik Divana. Dia lari pulang ke rumah cuma buat ambil obatku? Sebaik itu Divana?

Pintu di buka. Anak PMR itu masuk. Memberikanku sebuah botol Isi obat.

"Siapa yang ngambil?"

"Anak PMR lain. Dia cuma sampe gerbang doang. Terus diambilin obat lo sama pembantu lo." Jawabnya.

Aku sedikit tidak percaya. Aku yakin sekali jika orang yang mengambil itu adalah Divana. Apa mungkin Divana anak PMR? Tapi yang aku tahu, dia sama sekali tidak mengikuti organisasi apapun.

"Udah ada kan obatnya, sekarang minum."

Aku segera meminumnya. Istirahat sebentar. Tenagaku pulih lebih cepat dibandingkan tanpa obat. Anak PMR menyuruhku untuk menetap hingga pelajaran usai. Tapi aku nekat untuk masuk ke kelas. Saat aku masuk, Bel pulang sekolah justru berdering.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang