Pagi datang. Aku bersiap dengan cepat. Aku akan menuju sekolah Black. Sarapan ku percepat. Raiyan sudah baikkan. Ia sudah ada di meja makan sebelum aku datang.
"Pelan-pelan napa? Nggak sabaran amat ketemu Black."
Kepalaku langsung tertoleh. Nyawa orang ini sudah kembali ke tubuh aslinya. Menyebalkan dan suka mengacau. Bisa-bisanya dia menyebut nama Black di depan Papaku.
"Siapa Black, Divana?"
"Temen. Lagian buat apa Papa pengen tau."
"Black Winanda?"
Mataku membesar. Memandang papaku yang mengunyah makanan di mulut. Papaku tau soal Black dari mana? Tidak mungkin dari Raiyan. Aku menatap Kania lurus. Apa mungkin Kania?
"Usaha orang tuanya bersaing dengan perusahaan Papa." Papaku berbicara.
"Apa aku peduli?"
Aku menutup sarapanku dengan minum susu. Meninggalkan Raiyan yang mulai menyebalkan setiap detiknya.
Sampai sekolah, kami berkumpul. Aku ikut Beni dengan motornya. Aku sangat menyesal telah memilih Beni sebagai partner ke sekolah Black. Dia selalu bicara tentang vlognya. Bilang jika ini kesempatan bagus. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mau satu mobil dengan Sekrum yang bersama pacarnya. Bisa dibilang obat nyamuk nanti.
Sampai di sekolah Black, aku ditinggalkan begitu saja oleh Beni. Ia dengan sigap langsung mengambil handfonenya. Kedua temanku memang tidak perhatian denganku.
Anak dari sekolahku datang bergantian. Tapi kami masuk bersama. Kami digiring ke aula. Tapi ada dua orang yang menghentikanku.
"Pink?"Laki-laki dan perempuan berseragam sekolah Black bertanya.
"Gua Divana."
"Ya elah. Ini si Pink mana sih." Gerutu si perempuan.
"Ini bukan salah pink. Ini salah Black. Lagian kita mana tau Pink yang mana. Nggak dikasih foto lagi. Atau paling nggak, nama asli Pink gitu lho."
"Kalian orang yang disuruh Black?" Tanyaku.
"Iya. Buat nemenin Pink nya."
Aku menghembuskan nafas. Black benar-benar mengganti namaku. "Gua Pink. Black sering panggil gua Pink."
"Beneran?" Tanya si perempuan tertarik. "Oke kalo gitu. Kenalin aku Bunga." Tangannya terulur.
Ku raih tangannya. "Divana. Bisa dipanggil Pink. Tapi lebih seneng dipanggil Divana."Ku jabat tangan si laki-laki. "Divana."
"Langit berbintang."
Aku melongo. "Ulangi."
"Langit berbintang."
Aku masih diam memikirkan arah tujuan yang ingin disampaikan si laki-laki.
"Itu emang namanya." Jawab Bunga.
Ku lihat name tag yang terpasang di jas sekolahnya. Namanya benar-benar langit berbintang.
"Maaf. Gua agak terkejut sama nama lo."
Langit melambaikan tangan. "Biasa aja. Banyak yang kayak gitu kok."
"Kita pergi sekarang?"
Aku mengangguk. Aku dibawa ke aula. Bersama yang lain duduk. Ada sebuah panggung dengan tirai tertutup. Itu pasti tempat teater dilaksanakan.
"Blacknya mana?" Tanyaku.
"Dia ketua OSIS. Sibuk banget. Apalagi ada kegiatan ini. Masa sampe jarang makan."Jawab Bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mie Instan
RandomMie instan itu penolong. Saat tanggal tua, Ia siap mengenyangkan perut. Saat lapar tiba-tiba dan makanan belum tersaji, ia juga siap dengan instannya waktu. Tapi Bukan hanya itu. Ada cerita dan memori indah yang pernah dilewati setiap orang Saat me...