"Eh, ngapain lo pegang tangan gua gitu banget?" Tanya Raiyan.
"Gua takut gelap." Ujarku pelan.
Aku menarik tangan Raiyan untuk duduk bersandarkan tembok.
"Seorang Divana takut gelap? Terjun dari jembatan aja nggak takut. Cuma gelap, takut?" Ulang Raiyan tidak percaya.
"Gua patahin nih tangan lo."
"Lo patahin, nggak gua temenin lho." Ancam Raiyan. "Lagian, teriakan lo kenceng juga ya. Sampe kaget gua."
Kami diam menunggu listrik kembali menyala. Ini juga sedikit aneh. Tidak ada badai listrik tiba-tiba padam.
Seberkas cahaya masuk ke mataku. Ku buka mataku lebih lebar. Aku melihat sekelilingku. Ini sudah pagi?
Aku berajak duduk. Melihat selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Aku tidur di ranjang?
Aku mengusap wajah. Ini benar-benar sudah pagi. Jadi tadi malam aku ketiduran?
Aku berdiri. Bersiap-siap untuk sekolah pagi ini. Melihat meja makan yang kosong tanpa apapun. Aku lupa jika bibi pulang kampung. Dan satpam belum pulang. Aku harus buat sarapan apa ini?
Tidak ada nasi. Atau lebih tepatnya tidak ada yang memasak nasi. Aku bisa saja membuat mie. Tapi persediaan mie tinggal sedikit. Aku tidak bisa makan roti. Mungkin bisa membuat roti bakar untuk Raiyan. Itung-itung ucapan terima kasih untuk tadi malam.
Tepat roti bakar buatanku selesai, Raiyan datang ke meja makan. Ia duduk. Aku menaruh piring berisikan roti bakar.
"Kesambet apaan lo."
Aku tersenyum membungkuk. "Pagi tuan."
Dahi Raiyan berkerut. "Kok gua jadi ngeri sih. Lo kesambet apaan ha?"
Aku duduk di samping Raiyan. Memakannya buah sebagai sarapanku pagi ini. Gerakanku terhenti saat tangan Raiyan menyentuh dahiku.
Aku tersenyum memandangnya. "Aku normal tuan."
Raiyan diam. Tangannya diturunkan dari dahiku. Raiyan seperti orang bingung melihat sikapku yang berbeda. Perlahan Ia memakan roti buatanku.
Matanya terbelalak saat mulutnya sudah penuh. Melihat roti di tangannya. Aku tersenyum.
"Udah gua duga ada yang salah. Benerkan." Ia menaruh rotinya. Mengambil susu di dekatnya.
Aku masih tersenyum menikmati buahku.
Satu teguk langsung ia sembur. "Wah, bener-bener kurang ajar ya lo. Apaaan nih. Roti pedes. Susu asin."
Aku senyum tak berdosa. Memberikan roti yang lain pada Raiyan. " Yang ini baru beneran. Selai coklat."
"Awas aja lo. Gua jejelin nih ke mulut lo kalo rasanya nggak enak."
"Iya bawel. Udah makan aja tuh."
Raiyan memakan roti yang baru ku berikan.
"Itu sebagai ucapan makasih buat semalem."
Raiyan terlihat lahap memakan rotinya. "Ini baru enak. Kalo kayak gitu, biar gua gendong lo ke kasur. Biar dapet sarapan enak. Sampe bibi balik lagi."
Dahiku berkerut. Bagaimana Raiyan tahu jika bibi sedang tidak ada di rumah?
Sarapan Raiyan cepat habis. Ia langsung pergi. Aku masih diam di meja makan. Apa mungkin tadi malam Raiyan menguping pembicaraanku dan bibi?
"Oi, lo mau berangkat bareng nggak?"Tawar Raiyan dari depan rumah.
"Lo duluan aja. Gua bakal naik angkot."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mie Instan
RandomMie instan itu penolong. Saat tanggal tua, Ia siap mengenyangkan perut. Saat lapar tiba-tiba dan makanan belum tersaji, ia juga siap dengan instannya waktu. Tapi Bukan hanya itu. Ada cerita dan memori indah yang pernah dilewati setiap orang Saat me...