28

31 3 0
                                    

Jenazah papaku dibawa pulang. Rangkaian bunga banyak sekali di rumah. Teman maupun rekan kerja juga datang.

Hari itu juga, pemakaman dilaksanakan hari itu juga. Kania hanya berdiri di belakangku. Beni dan Sekrum yang sudah pulang sekolah di sampingku. Sekrum ikut menenangkanku. Sementara Beni, kali ini tangannya menggenggam erat tanganku bukan gadget yang selalu menempel di telapak tangannya. Mengkuatkanku. Hal yang tak pernah ku bayangkan dari duabtemanku.

Ternyata mereka juga peduli padaku. Kini aku baru ini menyadarinya.

"Ada kita Div." Sekrum menenangkanku.

Ku pandang wajah kedua temanku yang ikut bersedih.

Hari gelap. Matahari sudah tumbang. Semburat jingganta juga tak tampak Sekrum dan Beni pamit untuk pulang.

"Div," Panggil Kania yang bersama keluarganya. "Makan yuk. Dari tadi siang kamu belum makan."

Ku lihat Kania sejenak. Lantas berjalan menuju kamarku. Ku buka perlahan daun pintu. Terlihat kamarku yang sudah rapi dan bersih. Sebersih dinding kamarku. Tidak ada lagi bungkus mie instan yang ku koleksi.

Ku hembuskan nafas pelan. "Lo menyedihkan Div."

Kakiku berjalan menuju cermin. Mata ku bengkak karena menangis.

"Apa aku harus bertahan?"

Terus ku pandangi diriku di cermin besar.

"HAH! KAMPRET!" Seruku kesal dengan meninju cermin di depanku.

Retak. Cerminnya retak. Darah mengalir di cermin yang sudah tidak rata.

"Div_"

Tangan kiriku terangkat. Menghentikan Kania dan beberapa orang di dekatnya yang berdiri di depan pintu yang terbuka.

"gak boleh ada ngelewatin pintu itu." seruku galak.

Mereka diam.

"tutup pintu."

Kania menutup pintunya perlahan. Aku terduduk di lantai. Menjauh dari cermin. Tangan kananku luka. Jika Black mengetahui ini, pasti aku di marahi habis-habisan.

"sakit banget ya. Mana nggak ada P3K lagi."

Aku masih diam. Ingatan tentang papaku masih membekas di memoriku.

"HAH!" teriakku melempar sepatu. Mengenai cermin yang membuatnya pecah dan bercerai-berai di sekitarku.

Aku terdiam lagi. Ingin menangis, tapi mama meminta untuk tidak menangis.

Sekitar jam delapan, ketukan di daun pintu membuatku menoleh ke arahnya. Perlahan di buka dan lihatlah siapa yang membukanya. Kania.

"maaf sebelumnyaa. Sebenernya aku cuma mau ngasih sesuatu sama kamu."ujarnya ragu. "Ini dari papamu."

Pandanganku beralih ke lantai. "masuk."

Kaniar mendorong pintu itu. Menutupnya perlahan. Kakinya menjauhi ecahan kaca. Ia duduk di dekatku. Meraih tanganku. Meletakkan sesuatu di telapak tanganku. Lantas menggenggam tanganku.

Saat ku buka kepalan tanganku. Dahiku terlipat. Sebuah Flasdisk? Ku pandang Kania dengan tanda tanya di kepala.

"buka aja."

Aku meraih laptop yang ada di meja belajarku. Hendak melihat apa yang di inginkan papaku. Sebuah video?

Ku pandang Kania sekali lagi.

"papamu ngasih ini sehari setelah kamu pergi dari rumah. Aku sama sekali nggak tau apa isinya."jelasnya.

Baiklah. Ku putar play.

"Divana putriku, maafkan papa yang tidak bisa menjadi papa yang terbaik untukmu. Kamu memang benar. Papa memang seorang monster. Kamu benar lagi soal papa yang tidak ada saat kamu butuh. Maafkan papa.

Dan.. Papa minta maaf soal bungkus mie yang sangat berharga untukmu. Papa tidak berniat mematahkan hatimu saat itu. Entah apa yang merasuki papa. Papa minta maaf lagi. Bukannya mengusap rambutmu saat kamu menangis papa justru menendangmu. Papa memang papa terburuk.

Selama ini, papa tidak ada disisimu bahkan saat mama meninggal. Bukan papa tidak mau memelukmu saat itu. Hanya saja, papa tidak sanggup kehilangan mama dan melihatmu menangis. Papa sibukkan diri untuk bekerja. Agar luka itu lenyap dari pikiran papa. maaf jika apa yang papa lakukan justru malah menambah luka di hatimu.

Dan soal ulang tahunmu, maaf papa tidak bisa mengucapkannya. Papa memang papa yang buruk karena tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Setiap hari ulang tahunmu, papa selalu memberimu hadiah. Tapi maaf, hadiahnya selalu saja tidak bisa papa berikan. Tentu saja karena papa bingung bagaimana cara memberikannya. Jika kamu mau mengambilnya, pergilah ke kantor minta sekertaris papa yang bernama Ririn Ekawati. Papa sudah menitipkan srmua hadiahmu padanya.

Oh ya, soal Kania. Papa menikah dengannya bukan karena papa menyukai berondong."

Aku sedikit tersenyum di tangah suasana hatiku yang gundah.

"itu yang biasa di anak muda katakan bukan? jika ada orang tua yang menyukai gadis muda yang jaraknya jauh, maka Kania di sebut berondongkan? Itu karena papa ingin, kamu mendapatkan mama dan seorang teman. Kulihat kamu dekat dekat Kania. Jadi papa ingin kamu bahagia dengan dia tinggal bersamanya.

Tapi, ternyata tidak ya. Kamu justru membencinya. Ternyata papa salah langkah. Papa jadi bingung bagaimana lagi agar kamu bisa bahagia selepas mama meninggal."

Papaku terlihat menarik nafas panjang.

"papa tidak tahu sampai kapan umur papa. Jadi, papa membuat ini untukmu. Meminta Kania untuk memberikan ini setelah papa meninggal. Papa ingin, kamu bahagia. Kamu boleh menangis tapi jangan terlalu lama. Nanti matamu bengkak. Terus make upnya luntur. Imutnya hilang. Keriputnya menanti."

Antara ingin menangis dan tertawa. Ternyata papaku bisa hilang fokus juga. Bukannya ini seharusnya dilakukan secara serius?

"ini pesan papa. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sering makan mie walaupun kamu menyukainya. Dan, jaga Ki untuk papa."

Ku lihat Kania yang ikut melihat video itu bersamaku. Pandanganku turun. Terlihat perut Kania yang mulai buncit.

"selamat tinggal putriku, Divana Arintika."

Video itu habis.

"Ki?"

"lupakan itu. Ada yang harus ku katakan padamu Div." Kania menarik nafas pelan. "papamu menikahiku bukan untuk mendampingimu. Bukan." kepalanya menggeleng. "untuk menyelamatkanku yang akan lompat dari jembatan. Tau alasannya?"

Aku diam. Kania ragu untuk bicara tapi tetap ingin bicara. Ia menangis di hadapanku.

"bayi ini bukan adikmu Div."

Bibirku membisu. Apa maksudnya?

"Joy, Div." tangisnya pecah. Tangannya bergetar. "dia nggak mau tanggung jawab. Ak_aku nggak tau lagi harus gimana. Orang tuaku pasti marah banget kalo sampe mereka tau, aku hamil." tangisnya makin histeris. "Aku hamil ,Div. Ya, ini bayi karena kesalahanku. Dia bayi yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya. Kalo kamu mau bilang aku bunuh diri, ya, itu bener. Aku mau bunuh diri. Dan bunuh bayi yang ada di kandunganku.

Papamu datang. Dia memelukku. Melarangku untuk lompat. Dia mau mendengarkan dan mau menjaga rahasiaku ini. Bukan hanya itu, dia mau memberikan namanya untuk bayi ini, Div. Bayi, yang hampir di bunuh oleh ibunya sendiri."

Air mataku mulai mengalir membasahi pipi.

"papamu orang baik Div. Dia sama sekali nggak nyentuh aku. Bahkan dia rela tidur di sofa. Kita emang tidur satu kamar  tapi nggak pernah sekalipun dia mau menyentuhku. Ia memelukku bagaikan seorang anak. Dia orang tuaku disini, Div."

Kenapa papa sampai melakukan itu? Kenapa aku tidak pernah melihat sisi baik yang ia tutupi? Anak macam apa aku ini?

"Papamu orabg baik Div."

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang