32

33 2 0
                                    

Dua bulan sudah ku tekuni bidang ini sambil sekolah. Kemajuan di perusahaan tidak ada. Nilai sekolahku menurun dan sering tidur di kelas. Sama sekali tidak ada bagusnya sekolah sambil kerja.

Pulang sekolah. Dengan lesu aku keluar kelas.

"Ikut gua yuk Div. Kita latihan cheerleader."

"Males. Nggak pengen juga."

"Ah, lo gitu sekarang."

"Dari dulu gua emang gini."

Telfonku berdering. Dari sekertaris papaku. Ayolah, aku baru keluar kelas. Tidak bisakah aku makan dulu, istirahat dulu gitu?

Ku angkat telfon itu.

"Ibu Divana, malam sore nanti jam empat ada meeting."

"Nggak bisa dibatalin gitu?"

"Ini meeting mengenai kerjasama dengan perusahaan milik pak Setyo."

Mataku membesar. "Serius lo?" Ucapku senang.

"Demi tujuh langit. Lo kenapa? Kesambet ya?"

ku tutup telfonnya. Menatap Sekrum dengan riang. "Gua bakal ketemu sama calon mertua!"

Aku terdiam melihat sekrum.

"Maksud gua_"

"Cie... Berani juga lo ngomong itu."

"Bukan itu maksud gua."

Sekrum melambaikan tangan. "Halah. Gitu aja pake malu. Udahlah. Nggak usah malu ngomong itu sama gua. Jadi lo bakal ketemu dong sama Black?"

Kikukku lenyap. "Semoga dengan ketemu bokapnya, gua bakal bisa ketemu sama Black."

"Demi tujuh langit Div. Sampe sekarang lo masih belum ketemu sama Black?" Ujar Sekrum tidak percaya.

"Udahlah. Gua mau pergi dulu. Bye."

Aku pergi dengan jiwa yang senang. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Black. Kira-kira Black seperti apa ya?

Pukul empat sore aku sudah siap dengan baju kantor yang disediakan oleh sekertaris papaku. Berdadan layaknya orang yang sedikit tua. Dan high heels.

Ku pandang wajahku di kaca yang tersedia di kantor.

"Ini baru yang namanya ibu Divana."

Dengan riasanku yang sedikit menua ini, membuat karyawan di kantor menghormatiku. Jadi yang mereka tahu ibu Divana adalah orang yang tua. Sementara aku tanpa make up disebut anaknya. Padahal aku kan satu. Hanya make up yang membedakan.

Beberapa orang saja Yang tahu jika ibu Divana dan anaknya sebenarnya satu orang. Mereka menghormatiku yang tanpa make up.

Aku dan bu Ririn sudah ada di tempat. Menunggu pak Setyo datang.

"Mana?"

"Sabar bu, sebentar lagi pasti datang."

Aku mengangguk.

"Maaf bu."

Aku menoleh. Kenapa bu Ririn meminta maaf?

"Mengapa ibu Divana tidak meminta kado ulang tahun yang almarhum pak Land titipkan pada saya?"

"Memangnya kenapa?"

"Ada barang yang saya takutkan akan rusak."

"Besok aja. Aku juga nggak pengen-pengen banget. yang penting nggak mobil atau rumahkah? Itu terlalu berlebihan."

Bu Ririn tersenyum pasif. "E.. itu.."

"Jangan-jangan bener?" Tebakku.

Bu Ririn tersenyum mengangguk.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang