44

15 1 0
                                    

: Raiyan

Aku hanya melihat undangan berwarna hitam yang masih tersegel di meja kamarku. Black sudah gila. Dia memberiku undangan padahal dia tahu aku tidak akan datang untuk pernikahannya dengan orang yang dianggapnya Ana.

Aku ingat malam itu. Setelah Divana pulang, aku mengajaknya keluar rumah. Sambil makan mie ayam.

"Jadi ini alasan kenapa lo selalu pulang sekitar jam sepuluh malam? karena sorenya jam lima itu ngurus Black?" tanyaku.

Divana mengangguk.

"Black nggak tau kan kalo lo Ana?"

Divana mengangguk lagi. Menyuap mie ke dalam mulut.

"Dia bakal operasi mata kan? gimana kalo dia tau lo Ana yang selama ini di sampingnya?"

"Nggak bakal. Karena gua udah minta White buat cari orang dengan kriteria yang sama kayak gua. Black suka sama Ana bukan Divana."

"Lo tau, Black nggak pernah bilang kalo dia suka sama Ana. Dia bilang kalo dia bakal nikahi Ana."

"Buat gua sama aja."

"Sampai kapan lo jadi Ana."

"Hanya sampai dia operasi. Saat dia buka mata, dia akan melihat Ana yang berbeda dari yang ada di sampingnya selama ini."

"Kenapa lo nggak jujur aja sih?"

"Black nggak bisa lihat gua karena rasa bersalahanya. Dia sadar soal itu. Dia nggak mungkin dateng lagi ke gua, jadi yang bisa gua lakuin deketin diri gua ke Black."

"Cerita kalian itu kayak drama tau."

"Bukannya ini juga drama. Tanya penulisnya kenapa jalan gua sama Black dibuat rumit?"

"Kalo penulisnya  gua kutuk boleh?"

"Lo lagi sakit nggak?"

"Enggk, kenapa?"

"Kalo mau ngutuk lo harus sakit dulu, menderita dulu. Biar kutukan lo jadi."

"Kok gitu?"

"Kan lo bukan anak sholeh. Jangankankan kutukan, doa lo mana bisa langsung dikabulin."

Kali ini aku benar-benar menatap Divana.

"Maksud lo iman gua nggak kuat?"

"Siapa tau," jawab Divana dengan mengangkat baju. Sambil tersenyum memakan mie ayam.

Aku tidak kuat melihat undangan itu. Apa Black memberikan undangan itu juga pada Divana? Divana akan sakit hati sekali jika datang ke pernikahan itu.

Aku duduk, pada akhirnya aku membuka undangan hitam. Mataku membesar. Sungguh? Aku terdiam melihatnya.

"Gila, lima hari lagi. Ini nikah apa tugas kuliah? Nikah kayak dikejar deadline aja. Gua nerimanya juga baru tadi."

Aku membuka kotak yang juga diberikan kepadaku.

"Jas putih?" gumamku. "Gua disuruh ke pernikahannya pake ini? Emangnya dia tau ukuran gua?"

Aku mencobanya. Melihat bayanganku di cermin. Aku tersenyum. Bagaimana Black tahu ukuranku? Ini sangat pas sekali. Aku harus kembali sekarang. Sekalian menemui Kania.

:Black

Aku hanya berdiam diri di mobil bagian belakang. Masih dalam keadaan setengah basah dan kotor.

"Haruskah saya berhenti di toko baju tuan muda Black?"

"Tidak."

Aku menutup mata. Mengingat tentang White.

"White," panggilku.

White hanya meminum tehnya dengan tenang.

"Haruskah?"

"Jika bang Black masih menganggapku sebagai matahari, bang Black harus melakukannya."

"Apa kematian orang tua Pink masih tidak cukup untukmu?"

"Sungguh bang Black bertanya itu? Menurut bang Black kenapa keluarga kita seperti ini? Berawal dari mamanya. Karena dia, papa mengabaikan mama. Meskipun mama punya kita, dia tetap tidak berubah pikiran. Dan hasilnya, mama mati bunuh diri. Aku kehilangan mama, dan karena kak Pink aku kehilangan bang Black ku. Bang Black terlalu memikirkan kak Pink sampai lupa padaku."

"Aku tidak pernah lupa denganmu."

"Faktanya bang Black lebih sering mendengarkan suara kak Pink dibandingkan aku."

"Sekarang apa yang kamu inginkan?"

"Kematiannya."

Aku terdiam menatap White.

"Seperti?" tanyaku.

"Dia mati dengan tragis. Tubuhnya hancur berkeping-keping."

"Saat kamu menginginkan kematiannya sama halnya kamu menginginkan aku mati. Itu yang kamu inginkan?"

"Bang Black yang sudah memasukkan senjataku ke penjara. Jadi bang Black yang harus menggantikan posisinya."

"Papa yang menginginkannya."

"Ya sudah. Sekarang bang Black penuhi keinginanku untuk kematiannya."

"Bagaimana jika mama tidak suka dengan keputusanmu?"

"Mama udah meninggal mama tidak mengerti perasaanku."

"Kamu salah. Bukan mama yang tidak mengerti tapi kamu. Kamu berbohong jika kamu bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat. Jika kamu memang bisa melihatnya seharusnya kamu bisa tahu apa yang mama inginkan dari anak perempuannya."

White memalingkan wajah. "Ini biar lebih dramatis. Bang Black tau apa soal drama."

"Tapi ini jadi tidak masuk akal."

"Aku nggak peduli."

Aku diam sejenak.

"Sudahlah kenapa bang Black memikirkan kak Pink pikirkan saja pernikahan bang Black dengan Ana. Bang Black sudah mengatakannya pada Ana jadi bang Black harus memenuhinya. "

"Tapi aku ingin Pink ada di pernikahan."

"Kak Pink akan datang." White berdiri mendekatiku. "Tapi hanya tinggal nama."

Aku hanya diam saat White meninggalkanku seorang diri.

"Tuan muda Black."

Aku membuka mata. Pikiranku tentang White hilang.

"Saya akan melakukannya."

Aku menatap bangku sopir.

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan?"

"Tidak, tapi saya akan melakukannya."

"Kenapa?"

"Saya akan melakukannya atas perintah terakhir nyonya besar."

Aku duduk lebih tegak. "Mama punya perintah terakhir untukmu sebelum meninggal?"

"Ya tuan muda."

"Apa perintahnya?"

"Melakukan apa yang menurut saya benar."

"Apa yang menurutmu benar untuk situasi sekarang?"

Orang terpercaya ku dan seisi rumah diam menatap jalan. Namanya tuan Ali. Umurnya 37 tahun dan masih belum menikah. Dia sudah dianggap seperti bagian dari rumah. Sejujurnya dia adalah anak jalanan yang dirangkul kakek. Dianggap sebagai anak seperti papa. Diberi semua kebutuhannya. Sandang, pangan, papan, pendidikan, ketrampilan tapi setelah kakek meninggal dia memutuskan mengabdi pada keluarga. Tidak ada keinginan untuk berkeluarga hanya menjaga keluarga yang diberikan kakek padanya.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang