38

24 2 0
                                    

:Raiyan

Hari ini hari kelahiran Ki. Putra Kania. kami semua ada di rumah sakit dengan perasaan suka cita. Setiap orang bergantian menggendong Ki. Hanya Divana yang nampak tak memiliki semangat sejak ia mendengar sendiri jika Black menghilang dari kehiupannya. Divana hanya diam di sofa saat semua orang mendekat dengan Kania dan putranya.

Ini sudah satu bulan sejak kejadian malam itu. Dan sejak saaat itu juga, perubahan Divana sangat mencolok. Dia menyembunyikan suara dan ekpresinya. Sudah jarang sekali aku tidak mendengar suaranya. Untuk makan mie, Divana tidak lagi minta tolong untuk dibuatkan. Ia sendiri yang turun ke dapur untuk membut mie.

Aku pernah memberikannya sebuah mie. Dan responnya hanya mengangguk.

"Kalian sebaiknya pulang dan beristirahat. Kami yang akan menjaga Kania di rumah sakit. Ini sudah malam besok kalian harus sekolah. Apapun yang terjadi jangan bolos," ujar tanteku.

Divana berdiri, mengangguk sebentar dan keluar dari ruangan.

"Dia tidak suka ya."

"Bukan gitu ma, hubungan kami masih baik. Hanya saja, Divana punya masalah yang harus diselesaikan."

"Tapi dia sama sekali tidak memberi selamat."

"Mama tidak mengerti."

"Aku juga pulang dulu."

Aku menyusul Divana. Berjalan di belakangnya.

Divana, bersemangatlah, cerialah. Aku merindukanmu yang dulu. Yang suka mengajak taruhan. Mana suara yang mengejekmu.

Terlihat Divana yang menaiki bus untuk sampai di rumah. Ia juga langsung ke kamarnya. Menutupnya dengan rapat. Aku yang biasanya menganggunya jadi tidak enak.

Pagi cepat datang. Saat aku membuka pintu, terlihat juga Divana yang membuka pintu. Aku melebarkan senyumku. Dan ia hanya merespon dengan sebuah anggukan. Kami makan di satu meja dan tak ada percapakan.

"Lo mau sampe kapan nggak ngomong gitu?"

Divana mengangkat kepalanya. Apa dia akan menceramahiku kali ini? tapi sepertinya aku terlalu banyak berharap . Divana kembali dengan sarapannya yang hanya iu-itu saja. Tentu saja mie instan.

Divana menyudahi sarapannya. langsung berangkat sekolah. Aku hanya berjalan di belakangnya. Seperti ini dari sebulan lalu. Rasanya Divana sangat menjaga jarak.

"Nanti kita ke kantin yuk. Gua laper tadi belum makan," ujar Sekrum saat kami sampai di kelas.

"Iya, nanti gua traktir apapun yang lo mau. Mie sebanyak apapun sampe perut lo mau meledak gua bisa bayarnya," lanjut Beni.

Divana hanya mengangguk pelan. Kami diam lagi.

"Eh, tuh orang kenapa sih? sumpah lihat dia diem itu nggak enak. Udah sebulan juga, rasa kelas tuh ikutan hening." kata orang yang ada di sebelahku.

"Masalahnya apapun yang gua lakuin, itu nggak ada dampak apapun sama dia. lo pikir gua suka lihat dia kayak gitu? enggak.  Aneh tau rasanya nggak ribut sama dia itu sama kayak nggak seru hidup ini."

"Karna pacarnya? lagian cuma pacar sampe segitunya."

"Lo yang nggak tau nggak usah sok tau."

"Eh, lo sadar nggak sih, dia itu udah bucin akut. Cuma Black aja sampe kayak orang bisu gitu."

"Nggak usah sok tau. Gua udah bilang ini ya. Mau gua tonjok tuh mulut biar nggak bisa ngomong?"

Saat pelajaran usai pun, Divana masih diam di tempatnya. Aku dan Sekrum serta Beni  diam melihat  Divana yang diam menutup mata.

"Black sangat berpengaruh ya buat Divana. Padahal sebelum ini dia nggak papa ditinggal sama Black. Tapi kali ini kok gini ya."

Dering telfon dari laci membuat tangan kanan Divana bergerak. Bukannya menerimanya, Divana malah menjatuhkan handfonenya dengan sengaja. Membuat seisi kelas terdiam. pasalnya itu ponselnya bergharga jutaan. Dijatuhkan saja. Seolah itu sangat menganggu.

"Lo sadar, nggak Div?"

Divana membuka mata. Mengambil handfonenya yang dijatuhkannya tadi. Berkat pelindung, handfonenya masih bisa digunakan kembali. handfone nya kembali berdering. Divana mengangkat telfon nya tapi hasilnya juga nihil tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Divana bangkit dari kursinya. Kami mengikuti setiap langkah yang diambil Divana. Ternyata dia ada di kantin. Ingin makan mie. Seketika kami ingat dengan yang diucapkan Beni bahwa Beni akan mentraktir Divana akan mie bahkan sampe perutnya ingin meledak.

Kami duduk di depan Divana.

"Enakkan? pesen aja lagi tenang aja, Beni yang bayar juga kok," seru Sekrum.

"Iya, mumpung baik gua." lanjut Beni yang sedikit khawatir.

Tentulah ia khawatir. Karena dia tahu Divana bisa menghabiskan banyak mie untuk dirinya. Selama itu mie, Divana pasti bisa menghabiskannya. Memang penggila mie sejati.

Meskipun sekarang jarang sekali berbicara. Melihat Divana masih bisa makan itu cukup membuatku senang. Walaupun cuma mie instan. Itu sumber kebahagiaannya sekarang.

Bagaimana kabar Black sekarang ya. Apa dia sudah baik? apakah dia sudah bisa berjalan? sebulan waktu yang cukup tidak untuk belajar berjalan karena lumpuh sementara?

"Lo kenapa?"

"Nggak. Gua lagi nggak nafsu aja makan."

"Kenapa?" tanya Sekrum.

"Lagi nggak nafsu aja."

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang