33

29 2 0
                                    

"Divana!"

Aku terperajat. Kembali lagi ke posisi. Guru BK mendekatiku.

"Kamu tidak bolos tapi terlambat."

Aku diam. Masih hormat pada sang saka merah putih.

Hukumanku selesai saat bel pergantian mata pelajaran. Aku sesegera mungkin menuju ke kelas. Raiyan sudah berangkat? Sungguh?

Baru kemarin Kania membicarakan soal Raiyan. Dan sekarang Raiyan sudah kembali?

Aku terengah-engah sampai di dalam kelas.

"Demi tujuh langit. Divana?"

Kursi Raiyan kosong. Bukankah ia sudah berangkat? Aku tidak mungkin halu kan? Raiyan yang tadi pagi melempar bola basket itu padaku. Dia yang berteriak maaf.

Jika itu hanya imajinasi, aku tidak mungkin merasakan sakit. Lagi pula, bola itu juga masih ada di lapangan.

"Pagi anak-anak."

Aku duduk dengan nafas yang belum normal.

"Lo kok terlambat sih Div? Kenapa?"

"Raiyan mana?" tanyaku langsung ke intinya.

Dahi Sekrum terlipat. "Diakan udah nggak masuk lama."

"Tadi gua lihat Raiyan di lapangan basket." Seruku tertahan. Mencoba menekan suara agar tidak mengganggu yang lain.

"Tapi Raiyan emang nggak masuk."

Hening diantara kami.

"Raiyan masih hidupkan? Dia nggak jadi hantu yang gentayangan kan?" Tanya Sekrum.

"Serius. Gua lihat sendiri dia ada di lapangan pas gua lagi di hukum tadi. Dia ngelempar bola ke gua. Terus bilang maaf. Pas gua lihat lagi, dia ilang. Tapi bolanya nggak ilang. Berarti apa yang gua lihat tadi bener."

"Div, jangan buat gua parno lah. Raiyan beneran nggak masuk udah lama."

Aku diam. Ini benar-benar membuatku bingung.

:Raiyan

Aku tidak pernah tahu jika Divana sekarang jadi nakal. Bolos, terlambat. tapi dia semakin cantik saja.

Aku hanya berkunjung sebentar ke sekolah. Entah kapan aku akan masuk sekolah. Besok? Atau lusa?

Aku pergi ke suatu tempat. Melihat seseorang yang jongkok di depan nisan milik papa Divana. Pakaian hitam dan pandangan kosong.

"Hai Black." Sapaku ikut jongkok.

"Hai Raiyan. Bagaimana kabarmu?"

"Makin baik. Lo?"

"Baik. Tapi aku rasa, Pink tidak baik. Tadi pagi dia jatuh."

"Kayaknya iya. Tadi dia di hukum."

Kami terdiam. Ku tabur bunga diatas tanah makam.

"Papa Divana meninggal setelah kita ilang nggak ada kabar. Menurut lo, apa yang Divana lakuin?" Tanyaku membuka percakapan diantara kami setelah saling sapa.

"Dia hampir bunuh diri. Aku berhasil mengacaukan pikirannya dengan berteriak 'jangan' di alat yang ku pasang di kamarnya."

Ku pandang Black. "Segitunya?"

"Rai, kehilangan orang yang berarti bukanlah hal mudah. Apalagi, setelah kita pergi."

"Bukan. Bukan itu. Maksud gua, Lo masang alat lagi?" Aku terheran.

"Aku mencari informasi Rai. Aku hanya bisa mendengarkan apa masalahnya. Bukan membantu menyelesaikannya."

Aku mengangguk. Setuju saja dengan apa yang Black pikir benar.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang