:Raiyan
Aku berkacak pinggang. Melihat Divana yang pergi bersama orang yang ia panggil Black.
Beberapa orang menepuk bahuku dari belakang.
"Latihan lagi woi. Main pulang-pulang aja. Lo anak baru di tim basket. Mana beberapa hari lagi mau tanding. Inget, lo itu pemain cadangan yang diunggulin."
Aku baru pindah ke sekolah ini. Bermain-main dengan anak basket yang sedang latihan. Melihat kemampuanku, mereka malah memintaku bergabung dengan tim basket. Sebuah keberuntungan. Mana dimintai jadi pemain inti pula.
"Lagian, lo aneh ya." Timpal yang lain. "Orang-orang pengen jadi pemain inti. Lo malah minta jadi pemain cadangan."
"Iya. Padahal lo hebat main basketnya. Bisa jadi kapten tim basket selanjutnya."
"Enggak ah." Jawabku.
"Kenapa?"
"Adalah alasannya."Jawabku lagi.
Aku menyentuh dadaku. Andai saja aku tidak memiliki penyakit kardiomiopati atau lebih dikenal dengan jantung lemah, aku akan melakukan olahraga yang banyak mengeluarkan tenaga. Aku bahkan akan melakukan lari maraton jika aku tidak memiliki penyakit itu.
Jadi atlet basket adalah impianku sejak kecil. Tapi aku tahu batas kemampuanku. Jadi pemain basket harus menyingkir dari mimpiku.
"Ayo."
"Nggak ah. Gua nggak bisa lagi. Capek banget gua. Besok lagi aja ya."
"Yah lo kok gitu Rai."
"Ya gimana? Gini ya, kalo kalian latihan terlalu sering, kalian juga nggak bakal dapet faedahnya. Bisa aja kalian malah KO di pertandingan nanti. Bukannya gua terlalu santai. Tapi gua nggak mau stamina gua terkuras habis sebelum hari H."
Mereka berfikir sejenak.
"Udahlah. Gua balik dulu. Salam buat anak yang lain."
Aku pergi dari sekolah. Dengan motorku yang sudah diperbaiki.
Mendengar pembicaraan Divana dan si Black tadi, kalo hari ini Divana berulang tahun. Apa mungkin sikapnya tadi pagi berubah, bukan karena aku menemaninya tadi malam.
Mengingat tadi malam, aku jadi tau seperti apa kamar Divana. Dinding yang penuh dengan bungkus mie instan dari semua merk dan tahun. Apa dia mengoleksi bungkus mie instan? Benar-benar perempuan yang aneh. Yang aku tahu, kebanyakan perempuan menempelkan gambar idol kpop atau gambar barbie dengan warna dinding merah muda. Seperti kamar adikku.
Pikiranku di penuhi oleh Divana sepanjang perjalanan. Hingga aku berhenti di depan gerbang.
"Gua kan nggak punya kunci rumah ini. Mana Pak satpamnya lagi ke kampung nganterin bibi."
Divana punya hati yang baik sebenarnya. Buktinya ia tidak masalah jika pembantunya pulang kampung. Bahkan meminta satpam untuk mengantarkan pembantunya.
Jika aku tidak menguping saat itu, aku tidak akan tau baik hatinya Divana dengan orang lain. Dan aku akan mencap Divana perempuan buruk.
Jika mengingat sikapnya saat mati lampu, dia benar-benar manis. Imut seperti saat ia tanpa make up.
Aku menggelengkan kepala. "Kok gua jadi mikirin si Divana mulu ya? Kacau ini mah. Lagian. Ini Divana mana sih. Jangan-jangan lagi apel nih sama si Black. Nggak kasihan sama gua apa ya. Udah tau gua nggak punya kunci rumah. Tega amat dah."
Aku duduk di bawah pohon rindang dekat gerbang. Mengeluarkan handfone dari saku. Sambil sesekali mengomel sendiri karena kesal.
Satu jam menunggu di depan gerbang membuatku jenuh berkepanjangan. Handfone dalam posisi matipun juga menambah buruk situasi.
Mobil hitam berhenti di depan gerbang. Seseorang keluar dari kursi kemudi.
Aku menghembuskan nafas lega. Akhirnya ada yang datang.
"Mas, maaf mau tanya alamat boleh?"
Aku mengusap wajah. Ku fikir salah satu pegawai atau satpam pengganti yang akan membukakan pintu gerbang serta rumah.
"Kenapa hari ini gua sial banget coba!" Ujarku kesal.
"Mas. Maaf."
"Apa?!" Seruku galak.
"Eng nggak jadi mas."
Orang itu terbirit-birit masuk mobil lagi. Pergi dengan cepat. Tak berselang lama ada mobil yang berhenti di depan gerbang lagi. Akan ku tendang jika menanyakan alamat lagi.
Orang itu keluar. Mendekatiku.
"Den Raiyan kenapa duduk disitu?"
Aku berdiri. "Kok lama sih pak? Cepet bukain. Ini semua gara-gara si Black yang ngajakin Divana apel tuh."
Satpam sesegera mungkin membuka pintu gerbang. Aku memasukkan motorku. Segera masuk rumah dengan kunci dari pak satpam.
Aku langsung menuju dapur. Melihat isi kulkas. Perutku lapar. Setelah latihan yang menguras tenaga.
Tidak ada nasi. Tidak ada makanan siap saji selain mie. Sengsara banget hari ini.
Aku ke pos satpam. Dia sendiri di sini.
"Pak, warteg atau warung makan deket sini mana?"
"Ada disana." Satpam menunjuk keluar gerbang. "dari sini, den Raiyan belok kanan, di pertigaan sana kiri jalan."
"Oke. Makasih pak. Bapak mau makan apa? Sekalian aja."
"Nggak usah den. Saya habis makan tadi di jalan."
"Kenapa nggak bilang. Kan sekalian saya nitip. Biar nggak keluar rumah."
"Saya nggak punya nomor HPnya den Raiyan." Ucap satpam sedikit pelan.
Aku diam. Benar juga. Aku juga tidak punya nomor HP siapapun kecuali Kania di rumah ini.
"Oh ya, kalo gitu, sini HPnya bapak."
HPnya di berikan padaku. Aku hanya memandangi HP yang berada di telapak tanganku. Memandang tidak percaya pada Pak satpam.
"Ini HP jaman kapan Pak? Kok masih ada tombolnya kayak gini."
"Itu HP bersejarah den. Walaupun non Divana nyuruh saya ganti. Tapi saya nggak mau. Jadi kalo seumpama saya pengen lihat wajah anak sama istri saya, saya gantian sama bibi. Karna saya nggak mau pegang HP yang harganya Mahal. Takut kalo rusak."
"Tunggu dulu, gantian sama bibi?"
"Iya. Sebenarnya, kita dikasih HP yang kayak non Divana satu satu. Tapi saya Minta ijin. Supaya HP yang dikasih ke saya bisa buat keluarga saya. Nanti kalo saya pengen lihat wajah mereka pinjem punyanya bibi."
"Terus?"
"Dibolehin. Malah saya nggak enak. Mau dibeliin lagi buat saya sendiri."
Aku diam seribu kata. Apa Divana benar-benar punya hati sebaik itu? Sepertinya mustahil. Denganku saja marah terus. Suka bikin orang kesal juga.
Aku segera pergi keluar. Memesan makanan. Sekalian makan di tempat.
Tempat yang ku kunjungi cukup milenial. Beberapa anak-anak seumuranku juga makan Disini. Padahal ini sebuah warteg bukan cafe apalagi restorant ."Sayang, kita makan disini?"
Suara itu khas sekali di telingaku. Aku masih ingat suara yang menyakitiku satu setengah tahun lalu.
Seorang wanita masih dengan seragam sekolahnya dengan seorang pria yang satu seragam pula. Mereka berjalan melewatiku.
Benar saja dugaanku. Itu dia si Athia. Mantan pacarku yang meninggalkanku dengan alasan pindah kota. Padahal aku tidak papa jika harus LDR. Dia bilang tidak akan berpacaran dengan orang lain. Omong kosong. Sekarang aku malah melihat mereka bergandengan tangan dengan pria lain.
Aku santai saja makan. Sambil sesekali tertawa kecil. Melihat orang munafik yang sedang berbicara. Aku jadi ingat tak lama lagi, orang munafik itu juga ulang tahun. Aku harus memberinya hadiah yang mengejutkannya.
Ulang tahun mengingatkanku lagi dengan Divana yang sedang berulang tahun. Aku harus memberinya hadiah atau tidak?
Aku menyudahi makanku. Pulang setelah melihat Athia sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mie Instan
CasualeMie instan itu penolong. Saat tanggal tua, Ia siap mengenyangkan perut. Saat lapar tiba-tiba dan makanan belum tersaji, ia juga siap dengan instannya waktu. Tapi Bukan hanya itu. Ada cerita dan memori indah yang pernah dilewati setiap orang Saat me...