18

36 6 0
                                    

Ku telfon nomor itu. Suara terdengar Dari Sana. Benar saja. Itu adalah suara Black.

"Sepertinya, kamu lebih pintar dibanding dugaanku."

"Apa tujuan lo sebenernya? Mainin hati Divana?" Tanyaku langsung ke pokok pembahasan.

"Apa kamu menyukainya?"

Dahiku berkerut. Apa maksudnya? Kenapa dia bertanya itu padaku?

"Jika kamu memang menyukai Pink, maka buat dia bahagia."

"Tunggu dulu, niatan lo sebenernya apa sama Divana? Ngebuat dia suka sama lo. Terus lo pergi gitu aja."

"Ini buat kebaikannya. Jika kamu ingin tahu alasannya, kamu pergi ke rumahku sekarang lewat belakang rumahku. Akan ada yang membawamu menemuiku."

"Di mana rumah lo."

"Kamukan sudah tahu."

Aku masih tidak habis pikir. Darimana dia tahu jika aku mengetahui rumahnya? Apa dia menempelkan penyadap di rumah ini? Jangankan menempelkan. Masuk rumah ini saja aku tidak pernah melihatnya.

Baiklah aku turuti kemauanmu Black.  Ku Abaikan tempat tidurku. Akan ku minta bibi untuk membereskannya.

Matahari sudah sampai dititik terendah. Saat aku turun dari tangga, aku justru melihat Divana yang naik anak tangga dengan wajah lesu. Kasihan juga.

"Gimana?" Tanyaku.

"Itu bukan rumah Black. Kata yang punya rumah, mereka baru tinggal beberapa hari disitu. Terus black kemana?"

Sekarang aku benar-benar kasihan.

"Mau kemana lo?"

"Keluar bentar." Jawabku.

Aku melanjutkan jalan kakiku. Segera ke rumah Black lewat pintu belakangnya. Seseorang berdiri disana dengan pakaian berjas hitam. Aneh bukan? Apa dia penjaga rumah ini?"

"Tuan muda Black sudah menunggu tuan di kamarnya. Mari saya antar."

Tuan muda? Serius itu panggilan Black di rumahnya? Berkelas banget. Seperti di kerjaan atau semacamnya.

Aku digiring menuju kamar Black. Ku lihat isi rumah. Benar-benar seperti istana. Megah dengan dekorasi yang sepertinya berharga sangat mahal.

Pintu di buka. Terlihat Black yang duduk seorang diri di meja samping jendela terbuka.

Sejenak aku memandangi isi kamar Black. Luas dan penuh dengan alat musik. Sepertinya dia senang bermusik.

"Duduklah Rai."

Aku masuk. Duduk di depannya. Ada alat aneh di mejanya. Alat apa itu?

"Jadi, kenapa lo ngelakuin semua itu sama Divana? Lo tau kan kalo Divana sayang banget sama lo."

"Aku melakukan ini karena aku juga menyayanginya."

Black tanpa ekspresi aku pernah melihatnya. Tapi tatapan matanya tak pernah kosong. Kenapa sekarang seperti tidak ada lagi sesuatu dimatanya.

"Apa alesan lo?"

"Sudah ku bilang. Aku menyayanginya."

"Omong kosong. Kalo lo suka sama dia, lo nggak mungkin ilang tiba-tiba."

"Aku mendonorkan mata untuk adikku."

Aku mematung. Apa yang barusan dia katakan? Donor mata? Apa maksudnya?

"Sekarang aku buta Rai, aku tidak bisa melihat. Maka akan lebih baik jika Pink ku serahkan padamu. Buat dia bahagia Rai."

"Lo bercanda kan?"

"Apa menurutmu, aku bisa melihatmu sekarang? Aku menatap depan karena aku mendengar suaramu di depanku."

"Ini berapa?" Tanyaku mengacungkan jari. Ia sama sekali tidak merespon. "Jadi bener?"

Black menundukkan kepala.

"Lo kan orang kaya. Operasi mata bisa kan? Nggak usah ngilang gitu. Lo tau, Divana bahkan sampe ke_"

"Menyamar ke sekolahku." Potongnya. "Aku tau apa yang ia lakukan Rai. Dia meminjam seragam itu pada Athia. Apa kamu tahu apa yang ia pertaruhkan untuk mendapatkan seragam itu?"

"Nyuruh Divana jauhin gua?" Tebakku. Athia sepertinya masih ingin bersamaku. Bukan CLBK melainkan ia tidak ingin aku bahagia.

"Dinner sama kamu."

Mataku membesar. "Yang bener lo?!"

Black yang kini juga bisa tersenyum. Sepertinya senang sekali.

"Boleh gua ta_"

"Kampret." Teriak seseorang dari alat di meja. Suaranya sangat ku kenal. Apalagi kata itu sering sekali di gunakan.

Sepertinya Aku tahu. Alat di meja itu adalah alat penyadap suara. Keren sekali Black memilikinya.

"Seperti yang kamu tahu, aku selalu memperhatikan Pink. Kamu bisa melihat kamar Pink dari sini. Dan kamu bisa mendengarkan suaranya dari alat ini." Tangan Black meraba alat di meja. "Penyadapnya ada di dalam cincin yang selalu Pink bawa."

Sekarang aku tahu. Black juga sangat sayang pada Divana. Hingga rela tetap disini hanya untuk mendengarkan suara Divana.

Aku jadi teringat tentang cinta mereka yang tidak di restui. Sama seperti kisah Romeo dan Juliet yang pernah Beni dan Sekrum bahas.

"Berarti lo tau kalo gua punya penyakit jantung?"

Black mengangguk.

"Waktu Divana ngerokin gua, lo juga tau dong?"

Black mengangguk lagi.

"Jadi apapun yang gua omongin sama Divana lo juga tau semua?"

Black sekali lagi mengangguk.

:Divana

Aku duduk di lantai memandang seluruh penghias dinding. Ku pandang cincin yang pernah di berikan Black padaku. Melemparkannya ke lantai.

Ada sesuatu yang aneh. Seperti ada celah. Kupungut kembali cincin itu. Kuperhatikan dengan teliti. Benar saja, ada lubang kecil di cincin itu.

Apa mungkin Black menyembunyikan sesuatu dibalik cincin ini? Black tidak pernah ke kamarku. Tidak pernah tahu apa saja kegiatanku saat di rumah. Tapi terkadang dia bisa menebak dengan jitu masalah yang sedang aku hadapi.

Ku ambil pimes yang ku punya.  Membongkarnya perlahan. Sama sekali tidak kelihatan saat di buka. Hanya ada benang-benang. Aku mengambil kaca pembesar. Lihat dengan teliti.

Benang-benang itu bukanlah benang sungguhan. Itu sebuah kabel. Kecil sekali ukurannya. Apa mungkin ini alat penyadap? Seperti yang ada di film mata-mata. Apa mungkin Black menjagaku di luar rumah ini?

Jika begitu, walaupun dia pergi dari hadapanku, dia masih bisa mendengar suaraku dari cincin ini? Senyumku tiba-tiba mengembang. Ini sangat mengagumkan. Aku tidak pernah menyangka Black bisa seperti ini.

Senyumku padam seketika. Tapi jika Black memang seperhatian ini padaku, kenapa dia menghilang? Tanpa ada alasan bahkan tanpa ada kata selamat tinggal? Bukankah itu aneh. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Atau ini sebuah kejutan lain yang akan dia berikan padaku?

"Lupain. Lupain. Lupain. Gua yakin pasti ada yang Black sembunyiin. Dan apa yang dia lakuin itu yang terbaik buat kita berdua. Positif thinking Div."

Ku taruh cincin itu di meja belajar. Biar Black hanya bisa mendengarku saat di kamar.

Raiyan pulang saat jam makan malam tiba. Aku tidak tahu dia pergi kemana. Tapi wajahnya agak kecewa. Dia tidak menemui Athia bukan?

Dia langsung menuju meja makan. Duduk di sampingku.

"Kenapa lo?" Tanyaku. Tumben sekali tidak membuat bising.

"Nggak."

Baiklah. Satu kata itu cukup untuk menjawab semuanya. Aku juga tidak terlalu kepo dengan urusannya. Bahkan sama sekali tidak berniat mengulik hingga ke dasar untuk mencari sumber keanehan Raiyan kali ini.

Ku nikmati makan malamku dengan tenang. Kania juga tidak menggangguku dengan bertanya hal-hal yang tidak perlu.

Mie InstanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang