26

357 82 39
                                    

Suasana menjadi jauh lebih hening dari sebelumnya setelah kedatangan Jinyoung, para gadis menatap tak habis pikir pada ayah mereka yang tega karena hendak membawa Jihyo pergi untuk bersamanya. Padahal selama ini, bahkan jauh sebelum Jihyo bergabung dengan Twice, dia selalu memberikan yang terbaik untuk semua orang.

Bukankah kini dia juga harus menerima yang terbaik sebagai balasannya?


Jeongyeon—selaku yang paling berani di antara semuanya lantas maju untuk menghadap kepada sang ayah, mengabaikan larangan dari Jihyo kemudian menatapnya dengan sungguh-sungguh. Sorotan itu seolah sudah menjelaskan maksudnya yang belum terucap, Jinyoung bahkan sampai terkekeh remeh dibuatnya.


"Kau persis ibumu, Jeongyeon-ah," katanya geli.


"Jangan bersikap seolah kau dekat denganku, Appa," sahut Jeongyeon menuai teguran dari Nayeon di belakangnya, "kenapa? Bukankah kita semua memang tidak pernah benar-benar dekat dengannya? Selain Jihyo, tentu saja."


"Jeongyeon ..." panggil Nayeon berusaha menariknya ke belakang.


"Appa tega membawa Jihyo pergi? Aku kira, sudah cukup kau membuat ibu-ibu kami kesepian selama ini, tidak dengan menghancurkan kebahagiaan anak-anakmu juga. Apa kau menikahi mereka untuk mencetak anak yang bisa kau gunakan sebagai penggantimu sekarang?"


"Kau terlalu kasar, Jeongyeon," tegur Jinyoung serius, untuk sesaat, tatapan matanya menyiratkan rasa tak suka. Tapi putrinya ini tak gentar, dan hal tersebut membuat Jinyoung bangga pada aksi sang anak, "tak salah aku memberi ibumu uang agar kau mau belajar bela diri, ternyata itu mempengaruhi keberanianmu juga. Tapi kau harus tahu siapa yang kau lawan, Nak."


"Apa..?"


"Bukan ini maksudku, bukan ini yang aku harapkan dari belajar bela dirimu. Aku tak ingin dilawan oleh kau, ataupun yang lainnya," jelas Jinyoung menatap anak-anaknya dengan lekat, lalu ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. Pria itu memijat pelipisnya sebentar, sedikit pusing karena rupanya salah paham ini sudah berjalan cukup jauh karena dia biarkan, "lagipula ... siapa juga sih yang mau mengambil Jihyo dari kalian?"




"..."




"..."




"Eh...?"

Semua orang, terlebih Jihyo dibuat bingung dengan kalimat ambigu barusan. Mereka lantas saling pandang, berharap barangkali ada yang pintar dalam menangkap maksud ayah mereka.

Namun sayang, tak satupun dari para gadis itu tahu, mereka justru malah berbisik-bisik dan saling menyenggol karena kebingungan yang ada.


Jinyoung tersenyum tipis melihat reaksi anak-anaknya, kemudian meluruskan yang menjadi kesalahpahaman dengan berkata, "Aku hanya bilang pada Jihyo, bahwa aku ... benar-benar menantikan teleponnya."


"Maksudnya—?"


"Maksudnya ... telepon, darimu." Jihyo mengernyit sambil bersusah payah mencerna maksudnya, hingga kemudian bola matanya perlahan membesar, jantungnya pun berdebar menjadi cepat ketika sebuah dugaan muncul di kepala.

Passing ByTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang