1 9 .

985 110 17
                                    

"Stop dulu, Jo."

"Sebentar, gue hampir nyampe."

Tangan Selina yang semula hendak meraih ponselnya yang sedari tadi tak henti berdering kembali meremat spreinya saat tangan besar itu meraih pinggang sempitnya.

"Jo!"

Napas Selina memburu, wajahnya yang semula bersembunyi pada bantal kini menoleh ke samping untuk meraup rakus oksigen disekitarnya. Tubuhnya merosot, benar-benar tengkurap di atas ranjang.

Kali ini ia mencoba untuk mengambil ponselnya kembali di atas nakas tak jauh dari tempat tidurnya. Belasan panggilan tak terjawab mendominasi notifikasi barnya, dan itu dari satu orang yang sama.

Siapa lagi kalau bukan manajer tercinta alias Dennis Jordan.

Pergi mendadak semalam benar-benar di luar ekspetasinya. Dan Selina tentu bukan seperti cowok di sampingnya yang bisa menggeser jadwalnya seenak jidatnya. Tapi, pagi tadi saat mereka brunch, Selina sempat negosiasi mengenai jadwalnya, dan ya dia bisa sedikit menikmati liburan mendadaknya.

Selina mendudukan tubuhnya di sisi kasur, tangannya sibuk menelepon Dennis balik.

"Lo dimana, Sel? Lo gak lupa kan sore nanti jam 3 ada rapat sama Miss Jess?" sambutan Dennis memekakan telinganya. Selina sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya beberapa senti untuk menyelamatkan pendengarannya. Matanya secara tak sadar langsung melihat ke arah jam yang menunjukan pukul setengah dua siang.

"Gue udah bilang ke Miss Jess dan dia setuju meeting diundur malem nanti." Sebenernya Selena ingin berbicara dengan nada mengomel, tapi karena tenaganya tidak memungkinkan untuk memarahi Dennis, ia hanya bicara dengan nada sinis.

"Bilang kek! Kebiasaan lo mah."

"Iye, sorry gue lupa. Lo pagi juga susah banget dihubungin, nyet. Makanya gue telepon Miss Jess langsung."

Selina kembali merebahkan tubuhnya, secara tidak sengaja kepalanya jatuh di atas lengan kekar yang sedang mendominasi wilayah kasur. Sang Pemilik Tangan tersebut menoleh menatap Selina yang memejamkan matanya. Tangan lainnya ikut merengkuh tubuh yang lebih mungil darinya itu. Menelusupkan wajahnya pada ceruk leher yang sudah dipenuhi banyak tanda yang ia buat. Jovian menarik selimut saat tubuhnya yang semula memanas kini terasa kedinginan karena pendingin ruangan kian menusuk kulitnya.

Kedua pasang kelopak mata mereka sama-sama memejam, rasa kantuk mulai menyerang mereka, terutama Selina, tubuhnya seakan remuk. Laut biru dan langit cerah kembali menyapa indera penglihatannya saat kembali membuka matanya. Pemandangan indah yang menenangkan, namun tidak selaras dengan pikirannya yang terus berkecamuk sehingga tak nyaman untuknya istirahat. Tubuhnya lelah, namun pikirannya tak bisa menurutinya untuk pergi tidur.

"Gue mau nanya, boleh?" ucapnya masih bergeming dengan posisinya.

"Hm." Jovian hanya bergumam, ia sudah diambang kesadaran dan hendak pergi menuju alam mimpi.

"What if, kalo gue hamil?" Nyawa-nyawa yang semula sudah bepergian, kini seketika menyatu kembali begitu pertanyaan itu muncul dari mulut Selina. Well, Jovian awalnya akan memendam kekhawatiran itu. Namun, sepertinya Selina mencemaskan hal yang sama.

"Hamil anak lo." tambahnya memperjelas.

"Harusnya gue yang tanya, kalo lo hamil apa yang bakal lo lakuin? Lo model, pekerjaan lo nuntut lo lebih baik untuk gak hamil dan melahirkan." opini Jovian membuat Selina berpikir lebih keras.

"Kalo semisal gue pertahanin dan memutuskan buat lahirin dia. Lo gimana?"

"Itu kan tubuh lo, bagi gue lo berhak mau lakuin apapun ke tubuh lo termasuk melahirkan atau aborsi."

Me vs. Mr. HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang