O 9 .

822 136 26
                                    

Di malam sabtu dengan bulan sabit yang membuat malam ini indah, Bi Sumi yang baru saja memasakan makan malam terkejut dan terheran-heran. Bukan karena daging anjing dan sayur kol. Tapi, melihat majikannya duduk di sofa berdampingan berserta para kucing—terlebih Sola yang mendapat perlakuan khusus, lagi dimanja oleh budaknya. Tentu fenomena tersebut agak langka membuat asisten rumah tangga tersebut bingung.

Tumben sama-sama pulang sore.

Tumben makan malam bersama di rumah.

Dan sangat amat tumben sekali akur.

Gara-gara insiden sore tadi ketambahan James yang lagi dalam mode susah dihubungi, akhirnya Selina kontek salah satu sekretarisnya, tapi sayangnya gak direspon. Biasalah lagi weekend. Melihat itu membuat Jovian inisiatif langsung chat personal asistennya dan beruntungnya dibales. Punten wae nih ya, Jovian juga curiga dan penasaran  maka dari itu mau bantu Selina dan mereka terlihat akur.

"Apa katanya?"

Jovian memundurkan wajahnya, menoyor wajah Selina dengan telunjuknya. "Makan dulu." Selina merengut dengan mata mengikuti arah Jovian yang berjalan menuju meja makan.

"Bi, udah makan?" tanya Jovian basa-basi pada perempuan paruh baya yang sedang mengelapi peralatan masak.

"Bi, ayo makan bareng." ajak Selina seraya duduk di seberang Jovian.

"Bibi makannya nanti aja, Neng, Pak. Masih ada yang bibi kerjain." Bi Sumi pun pamit pergi meninggalkan mereka. Meski sudah bertahun-tahun, Bi Sumi masih merasa segan bila kalau harus duduk dan makan bersama. Padahal Selina telah menganggapnya seperti ibu sendiri.

Makan malam bersama dengan tenang tanpa akting dan paksaan. Keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing, namun yang mereka pikirkan itu sama.

Leonardo James Hardinata.

Gak hanya Selina, Jovian pun ikut kebingungan dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada James. Selina sebenernya pengen posesif, tapi urung karena kali ini Jovian sangat amat membantu.

Begitu selesai makan, Selina menaruh piring kotor tersebut di bak cuci. Setelah itu mencuci tangan kemudian duduk di samping Jovian yang baru saja menandaskan makan malamnya.

"Spill."

"James gak ada acara keluarga." kata Jovian seraya menatap layar ponselnya. Selina langsung sedih mendengarnya. Matanya yang semula menatap Jovian, kini beralih menatap sembarang arah.

Setelah berpikir lebih lanjut, apa yang Jovian katakan benar. James biasanya pasti akan mengabari jadwalnya yang gak jarang menceritakannya secara rinci.

"Kita ketemu sejam ya? Abis ini aku harus ke Surabaya." Kala itu saat keduanya nyaris tidak pernah bertemu selama dua minggu, karena baik Selina maupun James sangat sibuk. Bahkan sekadar teleponan pun tidak sempat.

Waktu adalah hal paling berharga bagi keduanya—James dan Selina. Karena mereka bisa aja ketemu cuman lima menit. Gak masalah, asal bisa lihat satu sama lain secara langsung sudah lebih dari cukup untuk mereka.

"Katanya, James ke rumah sakit buat jenguk seseorang. Tapi bukan keluarganya."

"Katanya sih jenguk Omnya Ennik."

Selina mengerutkan dahinya. Omnya Ennik? Buat apa?

"Hah? Omnya Ennik? James aja gak deket sama keluarganya Ennik?"

Jelas lah Selina bingung, meski saling menghargai privasi tapi Selina dan James cukup terbuka dalam banyak hal, dan tipe yang saling cerita. Hampir semua mereka ceritakan, bahkan hal gak penting pun sekalipun.

"James gak pernah cerita." gumam Selina pelan.

"Mungkin James emang belom bilang. Ya kan, Jo?" Jovian hanya diam. Menaruh ponselnya di atas meja, lalu menenggak minumnya.

Drrrrt... drrrrt....

Pandangan mereka beralih pada ponsel Jovian yang bergetar di atas meja. Melihat nama yang tertera disana membuat Jovian segera menyambarnya dan mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa, James?"


____



Suara musik tenang dan sepinya pengunjung adalah perpaduan yang sangat pas dengan suasananya. Tempat ini menjadi tempat favoritnya akhir-akhir ini. Lokasinya di pinggiran kota, tak banyak yang tahu bar ini menyajikan minuman yang enak untuk melepas penat dan stress.

Tempat yang sangat James Hardinata sukai.

Hampir semua orang tahu kalau James sejatinya bukanlah penggemar minuman keras. Ia penggemar berat kopi, terlebih kopi pahit.

Pikiran carut-marut bukan hanya hinggap di kepala Jovian dan Selina, James pun serupa. Masalah-masalah yang terasa di luar kendalinya membuat kepalanya rasanya ingin pecah. Dan itu adalah alasan yang mendasar baginya untuk singgah ke tempat ini.

Anak tunggal, kaya raya. Kedengeran menyenangkan memang. James hanya bisa tersenyum kecut mendengar kata-kata tersebut. Mungkin orang lain benar perihal warisan atau kasih sayang yang tidak dibagi. Namun baginya anak tunggal memiliki arti; semua cita-cita dan harapan orangtuanya hanya dibebankan padanya. Dia gak punya saudara untuk berbagi beban tersebut. Dia gak punya pilihan selain menurut.

Tatapan James beralih pada seseorang di sebelahnya yang baru saja memesan teqila.

"Selina di rumah kan?" Pria disebelahnya itu mengangguk pelan seraya menyesap minumannya tersebut.

"Gue tadi hubungin Mr. Dio, katanya lo habis dari rumah sakit?"

"Iya, nengokin Om John." Kini Jovian gantian melihat ke arahnya. Well, itu agak aneh.

"Terus dia minta gue buat cepet-cepet nikahin anaknya."

Tenggorakan yang semula terasa kering oleh alkohol, kian kering begitu mendengar pernyataan James. Feeling-nya tepat sasaran.

"Dijodohin?" James mengangguk lagi.

"Jujur, gue lumayan suka dia. Tipe anak yang penurut, dan lebih suka di rumah karena emang kerjanya juga di rumah." jelas James lagi.

Itu gak sesuai dengan kepribadian Selina. Penurut? Semakin diatur, maka Selina akan semakin melanggarnya. Dan Selina jarang di rumah karena pekerjaannya.

Jovian hanya diam mendengar ocehan James dengan keadaan setengah sadar. Ia tidak berani menjawab, ia tahu James hanya butuh didengar, bukan meminta saran apalagi dicermahi.

"Baguslah kalo lo suka." kata Jovian pelan, membuat James terkekeh.

"Kenapa? Lo udah mulai suka Selina?" Jovian hanya menanggapinya dengan tawa hambar.

Gak lah, gila! Kalo suka sama lo, iya.

"Selina itu lucu, kadang gue bela-belain ketemu dia karena cukup liat dia aja rasanya senang hati gue."

Lucu apanya, lucu kaya badut?

"Dia butuh kasih sayang, Jov. Dia keras karena dia merasa kalo gak ada yang bisa sayang sama dia, at least jangan ada yang nyakitin dia."

"Gue sayang banget sama Selina. Tapi, takdir gak ngijinin. Sakit sih, tapi di sisi lain gue merasa tenang karen dia nikah sama lo. Karena gue percaya sama lo. Jadi..." James menghela napasnya pelan.

"Gue titip dia ya? Terlebih dari keluarganya dia sendiri, lo tau kan keluarganya kayak gimana?"

Sebelah alis Jovian terangkat.

"Kenapa gak lo aja yang nikah sama Selina? Kalian saling sayang, toh kalian juga bisa saling menguntungkan?"

Sejujurnya Jovian pun bingung kenapa Selina gak nikah sama James yang jelas punya hubungan. Dan Jovian lebih bingung kenapa dengan gamblang menyuruh rivalnya itu menikah dengan orang yang ia suka. Well, untuk yang terakhir itu Jovian mengedepankan logikanya dan situasi yang sedang terjadi.

James terdiam sejenak, menggerakan gelasnya berputar seraya menatap botol-botol yang terpajang rapi di hadapannya.

"Gue pernah ngelamar dia tapi ditolak secara halus karena dia tau gue gak suka dunia kerja dia. Lo tau kan gue gak suka apa yang gue punya diliat orang? Terus...."

"Mama gue benci banget sama Papanya Selina. Dan makin benci waktu dia gak tau dirinya dateng minta bantuan ke keluarga gue."

"Gue sayang banget sama dia, tapi kalo dengan melepas adalah puncak dari rasa sayang gue, gue ikhlas. Termasuk dia nikah sama sahabat gue sendiri."

Ya, benar sekali yang dibilang James, apabila melepaskan adalah puncak tertinggi dari rasa kasih sayangnya maka akan dilakukan, walaupun kesannya seperti masokis. Tapi kalau Jovian pun berada di situasi macam itu ia akan melakukan serupa, walau rasa ingin memilikinya sampai di ubun-ubun.

Lidah Jovian kelu, banyak yang ingin ia sanggah. Tidak hanya itu, pikiran Jovian seakan terbelah dua. Keluarga Selina? Jovian gak tahu banyak karena mereka tertutup. James yang sebentar lagi akan menikah. James bukan tipe yang senang main-main, dia sangat penyayang dan sangat menghargai sebuah hubungan.

Dan James memutuskan untuk setuju.

Juga, James menyukai wanita beruntung yang merupakan calon istrinya.

Bruk!

James terkapar setelah menghabiskan tiga botol wishky.

Dada Jovian serasa ditekan oleh beton, sesak rasanya. Padahal Jovian tahu ending-nya akan seperti ini. James akan tetap bersama wanita. Kalau saja hatinya dapat dikendalikan penuh oleh logikanya, ia akan memilih mencintai Selina. Mencintai apa yang ada. Tapi ini hati, Tuhan memegang kendali besar, sekalipun risikonya pun sama besarnya.

Ia menatap James dalam posisi kepala yang bersandar pada meja. Mata yang memandang nanar itu berubah melengkung seiring dengan senyum tulus yang tersungging palsu.

Janur kuning melengkung sudah menunjukan hilalnya. Tuhan sudah menarik benang merah kedua hambanya dengan senang hati.

Senyum tulus yang ia tarik secara terpaksa itu berubah menjadi tawa remeh. Mentertawakan dirinya sendiri karena kalah sebelum berperang.

"James, gue gak mau nambah beban lo. Tapi, gue capek nahan perasaan ini selama ini. Gue cuman mau bilang gue suka sama lo. Semoga lo bahagia dengan pernikahan lo nanti."

_____

a/n :

Yhaaa jaemyeon sama nomin bau-bau mau karraaamm. Karamin jangan nih mereka?

padahal ya aku teh pengen niat hiatus minggu ini. tapi naha gitu begitu 'bismillah, nawaitu hiatus' malah ide cerita teh malah ngalir pisan, yaudah weh lah lanjut ngehalu. Huhu.






august 18, 2021
(revisi: march 27, 2022)
elfeetoile

Me vs. Mr. HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang