Sebelum terjun berkarier menjadi model dan artis, Selina merintis kariernya dengan bekerja sebagai model untuk event-event acara kampus, paling sering sih acara peragaan busana tahunan dari jurusan fashion designer di universitas ternama di Indonesia
Semuanya berawal mula dari temannya yang terpana saat melihat Selina yang membuat gaun buatannya terlihat cantik. Hingga akhirnya saat UAS tiba, temannya menjadikan Selina menjadi model untuk busana rancangannya.
Dari situlah cikal bakal keinginan dan tujuan ke depannya, apalagi setelah itu ia sering dikontak bukan hanya menjadi model peraga busana, namun juga menjadi model untuk membantu tugas mahasiswa jurusan fotografer. Selina memiliki banyak relasi dan teman walau bukan teman yang bisa diajak bicara masalah pribadi, namun itu cukup membuatnya tidak kesepian. Dan yang terpenting ia memiliki penghasilan sendiri.
Waktu itu sangat indah, karena Selina dikenal sebagai seseorang dari kalangan biasa sehingga tidak memiliki banyak musuh dan terhindar dari marah bahaya yang akan mengampirinya. Sampai akhirnya, Papinya memutuskan mempublikasikan bahwa Selina merupakan anak mereka. Hidup Selina berubah 180°. Semuanya mendadak tampak sangat kejam.
Selina remaja memang ambisi terhadap uang, namun kalau ia tahu harus membayarnya dengan ketenangan hidupnya, Selina tak akan pernah mau. Selina tak peduli harus menjadi anak yang disembunyikan. Selina tak peduli kalau ia tak mendapat warisan. Oh, sepertinya dipublikasi atau pun tidak, tidak membuatnya mendapat warisan. Ah, masa bodoh, uang Selina sudah banyak. Jangan lupa suaminya lebih kaya dari ayahnya.
Senyum manis dan ramah tamah yang menjadi perangainya hilang entah kemana saat tatapan mengejek bahkan mencemooh dari orang-orang padanya dan lontaran kasar seperti 'anak haram', 'anak pelakor' menjadi makanan sehari-harinya.
Selina membayar semua kemewahan semu itu dengan rasa takut, rasa tidak aman, bahkan dengan mentalnya yang entah sampai kapan akan benar-benar pulih.
Puncak rasa tidak amannya adalah, ketika Selina diculik oleh segerombol orang yang memiliki dendam pada papinya. Kalau dipikir-pikir mereka tidak lebih dari segerombol orang bodoh karena menculik anak haram. Tapi Selina sedikit berterima kasih pada mereka, setidaknya dari kejadian itu ia tahu kalau dia tidak seberharga saudaranya yang lain.
"Males ah."
"Tapi kan kita diundang."
Selina yang baru selesai memoles lipstick sebagai sentuhan terakhirnya mengubah posisi duduknya, ia tak lagi menatap pantulan bayangan Jovian dari cermin, kini ia menatap lelaki yang masih dengan setelan baju formalnya, baru saja pulang.
"Yaudah sih bilang aja sibuk, gue mau belanja buat persiapan jadi princess di pertunangan mantan. Coba aja nenek yang undang makan malam, dengan senang hati gue batalin acara shopping hari ini."
Disemprotkannya parfum pada titik-titik tertentu pada tubuhnya sebelum ia mengacungkan undangan berwarna merah satin seraya berjalan mendekat pada Jovian yang berdiri di ambang pintu kemudian menyodorkan kepada cowok itu.
"Gue pikir lo harusnya mempersiapkan diri juga. Ah! Gue lupa, kalo lo sih persiapkan hati aja ya." Wajah Selina berbuah sedih dibuat-buat, membuat Jovian memutar bola matanya malas.
"Ada untungnya juga ya terlahir sebagai perempuan, apalagi jadi orang tersayang James."
"Tepatnya, PERNAH jadi orang tersayang." koreksi Jovian menatap wanita itu dengan pandangan datar. Selina mengedikan bahunya pelan. "James gak secepet itu move on." jawab Selina percaya diri mengundang tawa remeh Jovian.
“Hati manusia itu rumit, Selina. Barang kali lo sebenernya udah tergantikan sejak lama, bahkan sebelum lo putus.”
"Bener, hati manusia gak ada yang tau, makanya lo gak usah asumsi yang enggak-enggak. Tapi, bukannya lebih baik pernah jadi orang tersayang daripada sampe akhir hayat cintanya bertepuk sebelah tangan, kan?" Selina mengangkat sebelah alisnya menatap Jovian yang tawanya sudah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me vs. Mr. Hubby
Fanfiction"pokoknya gue gak boleh kalah dari Jovian!" bahasa, semibaku. ⚠️🔞