Pelangi tanpa warna

17 2 2
                                    

Zee violin, gadis cantik pecinta hujan. Menurut dirinya, hujan memberikan rasa nyaman tersendiri. Zee kini berpikir apakah bisa masalah di titipkan pada butiran hujan untuk mengakhiri nya?

Lagi, dan lagi pertanyaan tanpa jawaban menghampiri Zee. Kata-kata yang tak seharusnya muncul kini menjadi objek random buat Zee.

Hujan....
Akankah aku bisa seperti mu...?
Memulai dan mengakhiri begitu saja...?

Rasanya Zee ingin tertawa jika saja ia tak berada di tempat umum. Kini Zee sedang menikmati waktu sore di kafe anak muda. Tatapan nya tak lepas dari anak-anak yang menghabiskan harinya di sekolah. Masa putih abu-abu memang indah. Batin Zee. Namun apakah keindahan itu pernah ia rasakan. Rasanya, Zee hanya mengingat luka pada masa itu. Seperti pelangi tanpa warna. Hanya ada keindahan yang semu....

____

"Lihat. Kasihan dia jadi sebatang kara... Hihi jangan berteman dengannya, percayalah ia akan menyusahkan mu..."

"Benar! Aku setuju dengan anggapan mu. Bahkan ibunya saja pergi gak mau urusin dia..."

"Kasihan sekali dia..."

Seminggu Zee tidak sekolah dan selama itu gadis cantik hanya memilih merenungi kehidupannya bersama sang ayah. Hanya dirinya sendiri tanpa siapapun.

Saat ini selepas duka yang memilih berdamai, gadis cantik itu harus di hadapi tatapan iba orang lain padanya. Apakah saat ini ia menjadi beban untuk mereka? Meskipun ia sendiri, apakah ia merugikan mereka? Nyatanya seberapa keras Zee berpikir tetap saja, jawabannya tidak.

Alang?

Zee ingin tertawa dengan keras. Dunia yang ia kira bisa membantunya meskipun hanya sedikit. Namun nyatanya memilih berkhianat pada harapan kecil dari seseorang.

Tatapan Zee jatuh pada pemuda yang berjalan kearahnya. Namun Zee lebih dulu kecewa dan mengakhiri sebelum pertemuan terjadi.

"Zee!" Panggilan yang selama ini gadis itu tunggu kini menjadi sesuatu yang ia benci. Ia sudah terlanjur melarutkan harapan itu sejak lama. Kini ia hanya sendiri. Sendiri tanpa siapapun....

_____

"Pussy...."

"Mpuss..."

Panggil Zee di halaman belakang. "Miaw?" Kucing mungil pun menampakkan dirinya dari persembunyian. Dengan badan gempal nya kucing tersebut mendatangi Zee.

"Maaf... Aku melupakan mu. Kamu pasti sedih yah?"

"Miaw?"

"Kamu pasti lapar kan. Tenang saja, aku bawakan makanan kesukaan mu..." Gadis cantik itu segera menunjukan kotak bekal untuk kucing tersebut. Hingga suara yang tak di inginkan pun terdengar begitu saja.

"Zee..."

Gadis itu membeku ditempatnya. Ia sangat tau suara siapa itu. Namun karena hatinya memilih untuk tak menoleh. Gadis tersebut memilih menyibukkan pada kucing tersebut.

"Maaf..." Lirih suara yang ia kenal, Alang. Pemuda yang kini menatap nya dengan penuh penyesalan.

Zee terkekeh pada hidupnya. Ia merasa seakan ini lelucon untuknya. Apakah ia terlihat menyedihkan? Jika iya, tolong sadarkan Zee untuk tak pernah berharap pada siapapun.

Gadis cantik itu pun berbalik menghadap lelaki yang dulu pernah jadi temannya, bahkan ia memiliki harapan jika lelaki tersebut bisa lebih dari teman. Namun apalah  yang diharapkan pada pemikiran kecilnya.

"Alang engga perlu minta maaf, Zee ga marah. Namun Zee hanya membenci fakta bahwa Zee pernah terlihat menyedihkan di depan Alang. Zee yang bodoh untuk tak berharap pada Alang..." Ungkap gadis cantik dengan senyum yang menyakitkan.

Faktanya, Alang. Pemuda yang kini menatap pada gadis itu hanya bisa menelan ludah. Mengapa hatinya merasakan sakit seakan diremas oleh perkataan dari Zee. Bisakah Alang berharap waktu kembali di putar agar ia bisa mengobati rasa sakit pada gadis di depannya.

"Kalo gitu, Zee kembali ke kelas dulu. Bel udah bunyi. Alang jangan telat yah..." Setelah menyelesaikan perkataannya, Zee. Gadis cantik pecinta hujan lebih memilih mengakhiri pertemuan nya pada Alang.

Mengapa begitu menyakitkan bagi Zee...? Apakah ia bisa bertumpu dengan sendirinya tanpa sosok prajurit?

Zee memilih menyimpan pertanyaan nya tanpa harus menjawabnya kembali...

ZEE VIOLIN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang