Why Would I Be

402 38 34
                                    

Jeongyeon POV

Mencintainya, bukanlah sebuah sandiwara, bukanlah sementara. Semua memang berawal dari persahabatanku dan dirinya sejak kecil. Berjalannya waktu, mengenal cinta, aku tahu aku telah jatuh cinta padanya. Perlakuanku pun bukanlah semata karena aku mencintainya, tapi aku lakukan semua itu karena ia pantas di perlakukan bak putri. Pribadi dan segala hal tentang dirinya, luar biasa.

Namun semua hancur, hilang begitu saja. Tergantikan rasa sakit yang entah, kapan akan berakhir. Awalnya aku percaya, dengan semua yang telah kami lewati, mungkin akan dengan mudah bagi ku untuk mengajaknya melangkah ke jenjang berikutnya. Dari sepasang sahabat menjadi sepasang kekasih. Salahku terlalu percaya diri, ia membuangku begitu saja dan lebih memilih bersama lelaki lain yang bahkan mungkin tidak tahu apa minuman kesukaannya. Ia jatuh dalam, terpesona dengan mudah oleh sosok baru itu.

Aku harus merelakannya bukan? Aku yakin aku telah merelakannya. 3 tahun saling menjauh, lebih tepatnya dia yang tidak mau menemuiku lagi sejak itu, ku rasa cukup bagiku merelakannya. Namun itu belum cukup, merelakan bukan berarti melupakan, bukan? Setiap detail adegan masih ku ingat.

Aku ini anti kopi hitam, aku membencinya sejak hari itu, hari dimana ia menyiramku dengan kopi hitam favorit kami setelah mendengar pernyataanku dan mengatakan banyak hal menyakitkan. Aku ingin bertanya padanya, 'ada apa? mengapa harus sekejam ini?'. Itu tidak pernah terjadi, sejak itu dia tidak ingin aku muncul dihadapannya dan tentu hidupku harus berlanjut. Ku lanjutkan pendidikanku di negri orang, jauh dari dirinya. Kuturuti dirinya yang 'jijik' melihat wajahku.

Saat ini aku sedang duduk sendiri di salah satu kafe di sudut jalan. Jalan yang selalu kami lalui dulu jika pergi sekolah. Terbayang dalam benakku, kilasan memoriku dan dirinya tertawa, kejar-kejaran di jalan ini. Hujan rintik turun namun dengan cukup deras, aroma hujan memnuhi indra penciumanku, ditambah hembusan angin ringan, ditemani secangkir teh camomile. Hujan, di jalan ini, tentu membawa kembali memori itu.

-------------------------------------

Aku masih setia duduk menantinya tiba sambil menikmati rintik hujan 'awet' dengan udara yang dingin kalau kata orang namun bagiku ini adalah udara tersejuk yang pernah ia rasakan. Hari ini, aku akan bertemu kembali dengan cinta masa laluku...

Mina...

Tak lama menanti, sosoknya pun datang dengan menggengam erat tali tasnya yang berada dibahunya, menyiratkan kegugupan dan ketegangan, menatapku dengan tatapan sendu.

"Silahkan duduk, Mina." ucapku dengan tenang dan tersenyum padanya. Dengan segera ia menduduki bangku yang berada dihadapanku.

"Apa kabarmu, Mina?" ucapku menghancurkan lamunannya.

"Aku baik. Kalau---"

"Langsung saja Mina... mengapa, Mina?" potongku. Aku menatap dalam kepada Mina. Mengharap jawaban atas semua pertanyaanku dahulu, iya, dahulu.

Mina terkejut mendengar pertanyaanku barusah. Mungkin, ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Namun tidak ada jawaban sepatah kata pun darinya. Aku paham.

"Haahh.. baiklah Mina, tidak apa. Semua sudah berlalu. Lupakanlah, tidak perlu lagi kau menjawab dan menjelaskannya padaku." Aku beranjak berdiri dan mengenakan coat-ku.

"Jangan sampai tidak datang, Mina. Aku pamit." ucapku sambil menyodorkan sebuah undangan pada Mina dan aku segera beranjak pergi dari sana. Ku lihat sekilas ia hanya menatap kosong pada undangan itu, lalu segera aku berbalik, beralih dari sana.

"Why would I be. Strained by the rain of those memories of you. Why would I be. Trapped in a place without no name. Hoping that you would tell me"

.

.

.

.

.

.

.🤓

Sedikit short story yang benar-benar short tidak sampai 600 kata yang saya buat dadakan banget siang ini. Saya tidak sengaja mendengar lagu yang selalu nangkring di playlist saya ini.

BTW, undangan apa ya ges. EHEHE.✌🏻

Kalau suka Vote & Comment ya ges ya.

Our Love Songs || JEONGMI || Mina Jeongyeon || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang