17

92 25 17
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Keadaan terasa begitu sunyi. Ruangan berdinding putih dengan sebuah bingkai berukuran besar yang sudah beberapa tahun menempel pada dinding tersebut. Jimin terdiam dengan manik yang menatap lekat pada sebuah foto seseorang yang begitu ia sayangi dengan sepenuh hatinya, namun kini telah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Hatinya terasa berdenyut nyeri tatkala kembali menatap foto yang terpajang pada ruangan khusus yang memang Jimin sediakan untuk menyimpan banyak sekali tentang masa lalu dirinya yang begitu kelam.

Jimin menangis tanpa suara, ia membenci takdir buruk yang selalu menimpah dirinya di masa lalu. Jimin pernah menjadi orang baik di masa lalu, hanya saja banyak sekali rasa sakit yang selalu ia terima, bahkan rasa sakit itu justru dari orang terdekatnya. Ayahnya selalu memperlakukan Jimin kecil dengan sangat kasar, bahkan tidak segan memukul jika saja Jimin membuat kesalahan sekecil apapun. Wajarnya seorang Ayah menyayangi Anaknya dengan sepenuh hatinya, namun Jimin malah mendapatkan perlakuan yang sebaliknya. Bahkan rasa sakit atas masa lalunya masih terus teringat dipikirannya.

"Kau berulang tahun hari ini. Jika kau masih ada pasti Oppa akan membelikan mu kue dan kita akan meniup lilin berdua."

Tangan Jimin terulur untuk menyentuh bingkai foto yang terpajang di dinding. Foto seorang gadis yang tengah duduk disebuah ayunan dengan sebuah senyuman manis yang terpatri pada belah bibirnya. Gadis tersebut nampak sekali terlihat bahagia ketika foto tersebut di ambil, terbukti dari senyuman lebar yang terpatri pada belah bibirnya.

"Oppa hari ini aku berulang tahun. Bolehkan aku meminta kue ulang tahun dan kita akan meniup lilin bersama."

Air mata kembali luruh, Jimin kembali menangis tanpa suara. Dadanya terasa begitu sesak bagaikan ada sebuah batu besar yang menghimpit hatinya dengan begitu kuat.

Ucapan Adiknya beberapa tahun yang lalu kembali terngiang-ngiang di pikirannya. Kala itu Jimin masih berusia tujuh belas tahun dan sang Adik masih berusia tiga belas tahun. Seharusnya diusia itu Jimin masih duduk di bangku sekolah, nyatanya Jimin remaja sudah harus menerima bagaimana kerasnya kehidupan. Memilih hidup berdua dengan sang Adik, ia hanya bekerja sebagai pencuci piring disebuah Restauran yang cukup terkenal di Kota Seoul. Ia harus berhemat demi bisa membayar biaya sewa flat dan juga makan setiap harinya. Jimin sudah dituntut untuk mandiri sejak usia remaja. Harusnya saat itu anak seusia dirinya duduk di bangku sekolah dan bermain bersama dengan teman sebayanya.

"Andai kau masih ada. Aku akan membelikan mu banyak kue ulang tahun."

Lagi-lagi ia berbicara di depan bingkai foto sang Adik. Berharap jika saja gadis yang begitu ia sayangi dapat mendengar isi hatinya. Banyak hal yang selalu Jimin rindukan dari Adiknya. Waktu itu keluarga yang Jimin miliki hanyalah Adiknya, karena semenjak berpisah keduanya orang tuanya lantas tak pernah peduli akan keduanya. Semenjak kakeknya meninggalkan keduanya untuk selamanya. Sepeninggal kakek yang selama ini begitu peduli kepada dirinya, akhirnya mengharuskan Jimin hidup berdua dengan sang Adik. Karena kedua orang tuanya tidak pernah peduli akan dirinya dan sang Adik. Jimin dituntut untuk mandiri di usia muda, ia harus bisa menghidupi Adiknya yang berusia empat tahun lebih muda darinya. Setiap harinya Jimin harus berpura-pura tegar dengan keadaan, padahal hatinya begitu rapuh. Perasaannya hancur berantakan karena perceraian kedua orang tuanya, tapi ia harus tetap bisa bertahan demi untuk menjaga Adiknya yang saat itu begitu membutuhkan sosok dirinya. Dan betapa hancurnya seorang Park Jimin ketika seseorang yang mampu membuat dirinya bertahan harus pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Oleh karena itu Jimin sepenuhnya hancur.


















🍁🍁🍁🍁






Mata Seo Ra berulang kali mengerjap saat sinar matahari berhasil masuk melalui celah jendela kamar yang ia tempati saat ini. Seo Ra lantas membawa tubuhnya yang masih merasa agak lemas tersebut untuk terduduk dan bersandar pada kepala ranjang. Baginya ini sudah terasa lebih baik daripada kemarin, karena kemarin kepalanya terasa sangat berat dan seluruh tubuhnya terasa begitu sakit. Namun pagi ini tubuhnya sudah terasa lebih baik jika dibandingkan dengan kemarin. Ia berharap jika dirinya akan sembuh dengan cepat karena merasa kasihan pada Jimin. Disaat dirinya sakit pasti tidak ada yang menyiapkan makanan untuk Pria itu. Disaat dirinya sakit pasti tidak ada juga yang akan membersihkan apartemen ini.

Seo Ra menatap pada segelas air putih yang berada di atas nakas. Jika saja bukan Jimin yang mengambilkan air tersebut lantas siapa lagi, itu berarti Pria itu masih cukup peduli akan dirinya. Meskipun kerapkali ucapan Jimin menyakiti relung hatinya, namun tetap saja Seo Ra merasa yakin jika saja masih ada setitik kebaikan yang Pria itu miliki. Karena bagi Seo Ra Jimin tidak sepenuhnya jahat, meskipun Pria itu hampir sama dengan kakaknya karena memiliki hobby berjudi, tapi entah mengapa Seo Ra merasa jika Jimin itu berbeda.

Tangan Seo Ra terulur untuk meraih segelas air yang berada di atas nakas tepat samping ranjang, lantas setelahnya ia meminum air tersebut hingga tandas tak tersisa. Lalu menaruh kembali gelas yang telah kosong tersebut di atas nakas.

Seo Ra memegangi perutnya yang terasa lapar, hendak keluar kamar untuk memasak namun tubuhnya masih terasa sangat lemas. Ia takut jika saja ia tetap memaksa malah akan berakhir pingsan seperti kemarin dan malah akan menyusahkan Park Jimin.

Atensi Seo Ra seketika teralihkan tatkala mendengar suara derit pintu yang berbunyi, disusul dengan presensi Park Jimin yang kini tengah melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Cepatlah sembuh agar ada yang memasak untukku." ucap Jimin dengan membawa nampan makanan berisi sepiring nasi dan segelas air hangat untuk Seo Ra.

Agaknya memang mulut Jimin pernah berucap jika saja ia tidak akan pernah peduli lagi dengan Seo Ra. Nyatanya lidah bisa berkata, namun hatinya tak sejalan dengan apa yang telah ia ucapkan pada Seo Ra. Karena pada kenyataannya Jimin masih merasa begitu peduli dengan gadis yang saat ini tengah duduk di atas ranjang dengan raut wajah yang terlihat masih begitu pucat.

Seo Ra tersenyum saat melihat Jimin yang kini tengah menaruh nampan makanan di atas nakas. Bahkan kakak kandungnya sendiri pun tidak pernah merasa sepeduli ini padanya.

"Padahal disini kau yang menjadi pelayan ku, tapi kenapa jadi aku yang melayanimu?" tanya Jimin dengan manik yang menatap tajam pada Seo Ra. Bukannya takut, gadis itu malah tersenyum karena perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Jimin padanya.

Seo Ra meraih buku catatan kecil dan bolpoin miliknya yang berada di atas nakas. Lalu menuliskan sesuatu untuk Jimin. Sudah sepantasnya ia mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan yang telah Jimin berikan padanya.

Setelah selesai menulis, Seo Ra lantas merobek kertas tersebut dan memberikannya pada Jimin.


Terima kasih karena telah berbaik hati kepadaku. Aku akan cepat sembuh agar ada yang memasak untukmu.

Tanpa sadar sebuah senyuman tipis terukir dari belah bibir Jimin, sangat tipis hingga Seo Ra tak menyadari akan hal itu.

"Memang itu yang aku harapkan. Kalau kau sembuh jadi ada yang membersihkan apartemen ini. Kau kan pelayan disini, jadi memang sudah pekerjaanmu memasak dan membersihkan apartemen ini."

Seo Ra mengangguk, ia sadar jika saja posisinya disini memang hanyalah seorang pelayan. Ia digunakan oleh kakaknya sebagai jaminan untuk membayar hutang pada Jimin. Meskipun begitu ia sudah mulai merasa nyaman berada di apartemen ini.

Jimin mengambil gelas air yang telah kosong di atas nakas. Lantas setelahnya ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam kamar Seo Ra. Meninggalkan gadis itu dengan sebuah senyuman yang terpatri pada belah bibirnya.

Meskipun Seo Ra sendiri tidak mengerti dengan sikap Jimin yang kerapkali berubah-ubah padanya, tapi yang ia yakini saat ini jika Park Jimin adalah Pria yang baik.






















****

Kira kira siapa aja nih yang baca sampai sini?

Stay Alive (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang