Episode 06

6 2 0
                                    

Matahari sudah terbenam sejak beberapa menit yang lalu. Langit sudah mulai gelap, berganti malam. Motor sport 250cc, Honda CBR250RR miliknya yang terparkir di halaman sekolah dia naiki. Tak lupa helm yang senada dengan warna motornya itu disematkannya ke kepala.

Karel mulai menghidupkan mesin motornya lalu meninggalkan area sekolah, tangan kanannya mengegas stang motor menambah kecepatan laju kendaraan saat memasuki arah jalan raya menuju rumahnya. Lampu-lampu jalanan seakan terlihat saling berkejaran di samping kanan-kirinya.

Seusai melaksanakan hukuman yang diberikan oleh pak Wijaya selaku ketua direktur ARCHIPELAGO HIGH SCHOOL untuk membersihkan seluruh ruang aula selama satu minggu.

Terlukis raut wajah kekesalan yang terlintas di benak Karel, ada perasaan yang membuat hatinya gundah sekaligus ingin marah meskipun dia sudah berusaha mencoba untuk tetap tenang tapi tetap saja dia tidak bisa menutupi kegelisahan itu dari balik helm yang dikenakannya. Ini bukan tentang punishment yang diberikan oleh pak Wijaya.

Melainkan karena pertemuannya dengan pak Burhan tadi sore, menghasilkan obrolan yang cukup membuat dirinya merasa kecewa dan sangat menganggu pikirannya, mood-nya jadi berantakan hingga terbayang-bayang sepanjang jalan.

Rasanya seperti tidak adil untuk Karel atas keputusan yang telah diambil oleh pak Burhan kepadanya. Ada rasa ketidakadilan dan kecurigaan yang menjadi tanda tanya besar bagi Karel.

Setiba di rumah, Karel langsung mematikan mesin motornya dan membuka helm, berjalan memasuki pintu masuk. Halaman rumah yang begitu luas dan mewah untuk ditinggali itu, merupakan idaman bagi siapa saja, namun tidak untuk Karel.

Baru saja dia mendorong gagang pintu yang setengah terbuka sudah terdengar suara keributan dari dalam menyambut kepulangannya. Inilah yang menjadi alasan Karel kenapa dia tidak begitu betah untuk berlama-lama tinggal di rumah, di sebuah istana yang katanya mewah.

Acapkali papah dan mamahnya selalu ribut dan bertengkar, Karel sama sekali tidak menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah sebesar itu yang ada hanya pertengkaran dan rasa sepi yang selalu menghampiri batinnya.

Dengan perasaan penuh kesal, Karel masuk tanpa permisi dan menyelonong masuk tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang sedang berdebat di ruang tengah. Sadar, putranya sudah pulang Aruni--mamahnya, memanggil putra semata wayangnya itu.

"Karel!" ucap Aruni lembut.

Karel menghentikan langkahnya, lalu berbalik arah, menghadap kedua orang tuanya dengan sikap dingin.

"Kenapa kamu baru pulang jam segini?" kali ini Arga Wijaya--papahnya bertanya, tegas.

"Apa pentingnya buat papah menanyakan hal seperti itu ke Karel?"

"Apa maksud kamu berbicara seperti itu?"

"Mau Karel pulang cepat atau enggak, kehadiran Karel itu enggak penting kan, di mata kalian berdua?"

"Karel, sayang, kamu kok ngomongnya seperti itu sih?" Aruni menginterupsi.

"Apa papah sama mamah peduli dengan perasaan Karel selama ini? Papah sama mamah itu egois hanya mementingkan diri pribadi masing-masing, papah sama mamah lebih sibuk mengurusi semua client-client diluaran sana. Sampai enggak ada waktu buat keluarga. Bukan hanya itu saja, papah dan mamah selalu menuntut aku untuk selalu tampil sempurna."

"Papah sibuk dan mengurus semua bisnis itu juga demi kamu, kamu hanya tinggal menerima semua hasil yang papah peroleh dan menikmati semua fasilitas yang ada. Tugas kamu itu hanya belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus, jangan sampai nilai kamu turun, itu sama saja kamu mempermalukan papah."

"Pah, sebagai kepala keluarga memberi nafkah itu adalah sebuah kewajiban. Tapi papah jangan sampai lupa bahwa seorang anak juga butuh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Materi aja enggak cukup pah, mah. Aku sudah berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik di setiap hal, bahkan aku selalu menuruti apa yang papah dan mamah mau. But neither one of you ever appreciated the results I got. Not everything has to be perfect, dad."

"Ini semua salah mamah kamu, papah sudah melarang mamah kamu untuk tidak lagi mengurusi semua bisnis-bisnisnya dan hanya fokus mengurus rumah tangga saja. Tapi mamah kamu menolak. Lihat, anak kamu jadi berani membangkang?"

"Kenapa papah jadi menyalahkan mamah? Papahnya aja yang memang enggak pernah ada waktu untuk anaknya. Untuk keluarga kita, papah selalu memikirkan bisnis dan bisnis. Sampai lupa waktu buat keluarga."

Karel memutar bola matanya, jengah. Kenapa dia harus melihat pemandangan yang menyebalkan seperti ini di hadapannya.

"Papah itu kepala keluarga dirumah ini sudah seharusnya papah mencari nafkah untuk menghidupi kalian. Mamah yang seharusnya sadar, bahwa kodrat seorang wanita itu adalah mengurusi suami dan anak-anaknya dirumah."

"Papah selalu saja mencari pembenaran."

"Mamah yang selalu melawan papah."

"CUKUP! Aku enggak mau mendengar pertengkaran dirumah ini lagi. Papah sama mamah itu sama aja, enggak ada bedanya, enggak ada yang mau mengalah. Sama-sama keras kepala."

Karel berlalu meninggalkan keduanya, menuju kamarnya di lantai atas. Di dalam kamar, Karel melempar tas sejadinya, menjatuhkan dirinya diatas bed cover empuk.

Karel memejamkan matanya sebentar, membuang napas berat, hari ini tubuhnya terasa lelah sekali, bukan hanya fisiknya saja yang lelah, namun otak dan batinnya pun juga ikutan lelah.

Semua seakan berurutan, masalah selalu datang menghampiri tanpa pernah ada kata permisi. Sementara itu di lain tempat, Luna tengah sibuk membantu orang tuanya untuk mempersiapkan makan malam.

Luna tengah menumis kangkung kecap asin dengan ikan balado buatannya. Sarah--Ibunda Luna, tengah sibuk menata piring di meja makan sederhana miliknya. Mereka saling berbagi tugas.

"Sudah jam segini ayahmu belum pulang, nak." ujarnya sambil meletakkan beberapa lauk pauk yang sudah masak ke atas meja.

"Mungkin lagi rame kali bu, banyak pelanggan." jawab Luna sambil memindahkan tumis kangkung ke piring saji.

Terdengar suara pintu terbuka, "Ibu, Luna, Ayah pulang." Sarah bergegas ke depan menemui suaminya yang baru pulang lalu menyalami tangan sang suami.

"Luna mana Bu?"

"Ada di dalam, Ayah bawa apa itu?"

"Ayah ada hadiah untuk Luna."

Sarah menutup pintu lalu menuju ke meja makan yang berdekatan dengan dapur.

"Sayang, kemari nak, Ayah punya sesuatu untuk kamu."

Luna menghampiri ayahnya sambil membawa piring berisi ikan balado, lalu menyalami tangan sang ayah dan duduk lesehan bersama di meja makan.

"Hadiah? Apa itu yah?"

"Coba dibuka." ujar Iskandar sembari menyodorkan kotak itu pada Luna.

Luna membuka kotak persegi empat itu, dan sebuah sepatu yang menjadi keinginan Luna selama ini akhirnya terwujud.

"Wah, sepatu baru. Aaa... Ayah, terima kasih banyak ya yah." Luna memeluk Ayahnya erat.

"Ini itu sepatu yang aku inginkan dari dulu. Akhirnya." Luna sangat senang sekali mendapatkan sepatu yang sudah lama diinginkannya itu. Sementara itu tak lama, Bara--sang kakak baru saja pulang membuka pintu, mengintip mendapati momen indah itu dari balik dinding.

"Besok kamu enggak usah pakai sepatu lama kamu itu yang sudah mulai rusak dan pudar warnanya. Kamu bisa pakai yang baru." tutur Iskandar--Ayahanda.

"Semoga dengan sepatu baru itu, kamu bisa jadi lebih semangat lagi sekolahnya, ya." pesan Sarah--Ibunda.

Bersambung...

VERSUS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang