Episode 28

4 1 0
                                    

Waktu terus bergulir, Bara masih berada di halte dengan wanita itu duduk berdua. Ucapan Bara beberapa menit yang lalu seakan memberikan oase untuk wanita yang saat ini tengah frustasi akan kehidupan percintaannya.

    "Mbak, kenapa menatap saya seperti itu? Saya minta maaf kalau ada kata-kata saya yang membuat mbak merasa tersinggung."

    "Enggak, saya setuju dengan apa yang mas katakan barusan. Kenapa saya begitu egois sekali. Sampai saya mempunyai pemikiran sebodoh itu untuk mengakhiri hidup saya."

    Terkadang disaat manusia memiliki banyak jutaan masalah dalam hidupnya. Ia berpikir bahwa masalah yang sedang ia hadapi begitu besar. Padahal ada yang jauh lebih besar dari masalah-masalah itu. Tuhan tidak pernah menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan umat-nya.

    "Mbak, seberapa besar masalah yang sedang Mbak hadapi saat ini. Jangan pernah katakan. Wahai Allah, aku punya masalah besar. Tapi katakanlah, hai masalah aku punya Allah Yang Maha Besar."

    Kedua bola mata indah itu kembali berkaca-kaca, mengembang

    menahan bulir-bulir air bening itu agar tidak jatuh untuk kesekian kalinya.

    "Apakah pertemuan kita ini sebuah kebetulan mas?" ucapnya lirih.

    "Di dunia ini enggak ada yang namanya kebetulan mbak. Semua sudah ditentukan dan digariskan oleh-Nya. Apa yang terjadi hari ini, besok, lusa, dan kedepannya. Itu sudah ada catatannya sendiri mbak.

    Kebetulan adalah sebuah fiksi yang tidak nyata. Enggak ada yang kebetulan di dunia ini, semua kejadian pada dasarnya merupakan takdir yang telah ditetapkan Tuhan yang Maha Esa. Ada pula pepatah yang mengatakan 'Kebetulan adalah takdir, dan takdir bukanlah kebetulan'.

    Mereka yang pesimis akan selalu menggunakan kata kebetulan sebagai tameng untuk menenangkan hati. Sementara mereka yang optimis, akan selalu berpikir bahwa itu adalah takdir yang harus diterima untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

    Allah mengetahui apa saja yang akan terjadi dan sudah dituliskan seluruh peristiwa yang akan terjadi hingga hari kiamat di Lauhul Mahfuzh. Saya pernah baca sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (2653) dalam shahihnya dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, dia berkata," Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

    "Allah telah menulis takdir seluruh makhluk 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi."

    Semua kejadian sekecil apa pun sudah tercatat di tempat yang aman dan enggak akan pernah mengalami pergantian atau pun perubahan. Maka enggak ada istilah kebetulan untuk sebuah peristiwa dan enggak dibenarkan untuk mengatakannya."

    Wanita tersebut nyaris tertegun hampir tidak bisa berkata-kata. Apa yang diucapkan lelaki itu barusan, seakan menusuk batinnya.

    Ia tak sangka akan bertemu dengan sosok laki-laki yang cerdas dalam pemahaman agamanya. Jiwanya yang tadinya kosong, ketika mendengar penjelasan dari lelaki itu. Membuat batinnya seolah tersiram dengan air sejuk sebagai bentuk kesegaran rohaninya.

    "Termasuk pertemuan kita mas?" tanya wanita itu lagi.

    Bara mengangguk, "iya, apapun itu." terangnya. Tatapan matanya kini kosong merenungi apa yang di dengarnya hari ini.

    "Ah' saya baru ingat, mbak ini, mbak Bianca kan?"

    Wanita itu mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa lelaki itu mengetahui namanya.

    "Saya, Bara. Pengantar mie ayam pesanan mbak waktu itu, masih ingat?"

    Wanita bernama Bianca itu mencoba mengingat-ingat kembali memori saat pertama kali dia bertemu dengan lelaki itu. Butuh waktu sepuluh detik untuk Bianca membuka memori itu kembali.

    "Ya, ampun mas. Iya, iya, saya ingat. Aduh. Maaf banget ya mas, saya hampir lupa kalau kita pernah bertemu sebelumnya."

    Bara melempar senyum, "enggak apa-apa kok mbak. Manusiawi." ujarnya dengan sedikit tertawa.

    "Senang bisa bertemu dengan masnya disini. Ternyata dunia itu sempit ya mas." ungkapnya sambil mengalihkan pandangannya ke badan jalan.

    "Jangan panggil saya mas. Panggil aja Bara, biar lebih akrab."

    "Oke, kalau gitu kamu juga jangan panggil saya mbak. Kelihatannya aku tua banget dipanggil mbak. Panggil aku sesuai nama, Bianca." wanita itu tersenyum simpul. Memamerkan barisan giginya yang putih.

    "Oke, Bianca." katanya mengulang ucapannya. Keduanya saling melempar tawa. Bara sangat senang sekali saat melihat wanita bernama Bianca itu ceria lagi.

    Wanita yang tak sengaja ditemuinya di halte kini jauh berbeda dari yang Bara kenal beberapa jam yang lalu. Ekspresinya mendadak berubah. Sorot matanya menyiratkan cahaya cerah, tawanya begitu lepas seperti tak memiliki beban apapun dalam hidupnya.

    Manusia itu bersifat dinamis, sewaktu-waktu bisa berubah kapan saja seiring berjalannya waktu. Angin sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan yang gugur jatuh pada tepian trotoar jalan.

    Langit siang perlahan mulai bergeser mengarah ke petang, cahaya jingga yang menyorot tajam memantulkan siluet manusia-manusia yang terpapar diatas sinarnya. Mengikuti langkah kemanapun mereka pergi.

    Halte yang tadinya sepi, kini mulai ramai disesaki oleh penumpang yang bergantian keluar masuk sekedar untuk transit ataupun menunggu giliran.

    "Kamu habis darimana?" tanya Bara.

    "Aku habis dari kantor, izin pulang duluan. Aku benar-benar lagi enggak konsen hari ini."

    "Karena masalah tadi?"

    Bianca tak menjawab ia hanya mengangguk, kini sorot matanya mengarah ke sebuah map cokelat yang dipegang oleh Bara sejak tadi.

    "Itu punya siapa?" ekor matanya mengarah pada map cokelat itu.

    "Oh, ini. Punyaku." jawab Bara sedikit menundukkan wajahnya.

    "Sebenarnya tadi aku habis dari interview kerja. Map ini aku bawa rencananya sekalian untuk mencari info lowongan pekerjaan lainnya. Jika seandainya aku enggak keterima di tempat itu."

    "Kamu dapat panggilan interview dimana?"

    "Disalah satu restoran makan, tapi sayangnya aku enggak keterima disana." Bianca menaruh rasa empatinya pada Bara.

    "Sabar ya, kamu udah coba melamar ditempat lain?" tanya Bianca. Bara menarik napas, kemudian menghembuskannya berat. Ini merupakan pertanyaan keseribu kalinya yang ia dapatkan dari orang lain.

    "Huhh," Bara mengatur napasnya. "Udah banyak lamaran yang aku kirim ke berbagai tempat, tapi hasilnya tetap sama. Aku enggak tau kenapa? Mungkin memang belum rezekinya."

    Bianca merasa kasihan dengan lelaki itu, biar bagaimanapun juga Bianca pernah merasakan berada di posisi susahnya dalam mencari pekerjaan seperti yang Bara alami saat ini.

    Disaat kita mempunyai keinginan, tapi keadaan punya kenyataan. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak tangisan anak bangsa yang susah mencari lapangan pekerjaan di negeri sendiri.

    Mengetuk-ngetuk pintu pabrik, maupun pintu-pintu lainnya, dengan membawa sebuah harapan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Bertumpuk-tumpuk lamaran, yang akhirnya berakhir di pembuangan.

    "Bar, kalau boleh tahu kamu lulusan apa?"

    "Aku cuma lulusan SMA, aku tahu orang seperti aku yang hanya lulusan SMA, bisa apa? Enggak seperti kebanyakan orang diluaran sana yang bisa menikmati bangku kuliah. Setelah lulus, mereka langsung mendapatkan pekerjaan."

    "Kata siapa? Belum tentu, banyak juga kok mereka yang lulusan sarjana masih belum mendapatkan pekerjaan sampai saat ini."

    "Tapi seenggaknya, mereka selangkah jauh lebih mudah untuk mencari pekerjaan dan peluang

    mendapatkan pekerjaannya juga jauh lebih besar. Dibandingkan dengan aku yang hanya lulusan SMA."

    Warna sore keemasan berpendar menciptakan semburat cahaya jingga, pertunjukan hilir mudik anak manusia berlalu lalang meramaikan badan jalan.

Bersambung...

VERSUS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang