Episode 10

5 1 0
                                    

     Sementara di lain tempat, di waktu jam istirahat tiba Karel memilih menyendiri diatas rooftop yang selalu menjadi spot favoritnya dikala pikirannya sedang kacau.

    Semilir angin siang berdawai menggoyangkan rambutnya yang berwarna dark brown. Terdengar suara pintu terdorong dengan keras. Pertemuan antara besi dan dinding tembok menciptakan suara yang memekakkan gendang telinga. Karel terkejut kepalanya langsung menoleh ke arah samping kiri.

    Sosok Luna berjalan dengan ekspresi yang tidak seperti biasanya. Ada raut wajah kekesalan dalam dirinya. Sambil berjalan mengarah ke Karel ia melipat kedua tangannya di dada.

    "Kenapa sih lo enggak pernah mau cerita ke gue kalau lagi ada masalah? Gue kan udah sempat pernah bilang ke lo, gue siap menjadi pendengar disaat lo lagi ada masalah?" kali ini tampang Luna seperti preman.

    Karel memutar bola matanya, menyiapkan telinganya untuk mendengarkan ocehan-ocehan serta sumpah serapah yang keluar dari mulut Luna. Membiarkan Luna ngomel-ngomel tidak jelas.

    "Udah, udah selesai marah-marahnya? Kenapa sih lo itu hobi banget marah-marah? Pusing tau enggak sih gua dengarnya."

    Luna bergerak duduk di dekatnya.

    "Ini semua gara-gara lo yang selalu bikin gue kesal. Gue kan ud--" belum selesai Luna bicara Karel langsung memotong pembicaraannya.

    "Enggak semua hal harus gua ceritain ke lo Luna. Dan enggak semua hal tentang gua harus lo ketahui. Ada kalanya juga gua harus menyimpan itu sendiri. Gua cuma enggak mau menyusahkan orang lain aja."

    "Lo itu sama kayak kakak gue, kalau ada masalah itu enggak pernah langsung mau cerita. Alasan enggak mau menyusahkan orang lain. Padahal cuma cerita aja apa susahnya?"

    "Lelaki sama perempuan itu beda, cowok kalau ada masalah, dia cuma butuh waktu untuk sendiri dulu agar bisa menenangkan pikirannya sebelum akhirnya dia mengambil keputusan."

    "Oke, fine. Sekarang gue mau tanya kenapa nama lo enggak ada di daftar olimpiade olahraga siswa nasional?"

    Karel tak langsung menjawabnya, ia sedikit menarik napas memberi jeda beberapa detik sebelum akhirnya mulai menjawab pertanyaan Luna.

    "Itu sudah menjadi keputusannya pak Burhan. Gua bisa apa?"

    "Maksudnya?"

    "Pak Burhan mengeluarkan gua dari tim basket, lalu menggantikan posisi gua dengan Vano."

    Luna mengernyitkan dahinya, "atas dasar apa lo dikeluarkan dari tim basket?"

    Karel menggelengkan kepala, "entah, gua juga enggak tahu alasan pak Burhan ngeluarin gua dari tim basket karena apa. Semua terjadi secara tiba-tiba."

    "Enggak bisa gitu dong, padahal lo itu udah banyak menyumbangkan piala untuk sekolah kita. Kita harus minta penjelasannya pak Burhan rel."

    "Enggak perlu, pak Burhan bilang ke gua karena ini permintaan pak direktur."

    "Kalau gitu kita ke pak Wijaya untuk membicarakan hal ini."

    "Menurut lo apa ini ada korelasinya dengan punishment yang gua dapat?"

    "Jangan kebanyakan berasumsi, lebih baik kita tanyakan langsung ke pak Wijaya."

    Sementara itu di kelas, Airin meminta Claudia untuk menemaninya ke toilet.

    "Clau, mau pipis nih, anterin gue yuk."

    "Biasanya juga sendiri."

    "Iiih, ayo buruan." Airin menarik lengan Claudia.

    Saat keduanya berjalan keluar ruangan mereka berpapasan dengan Helen and the gank. Di pintu masuk.

    BRUUKK!!! Keduanya saling bertubrukan.

    "Aduh."

    "So, sorry len gue buru-buru." tutur Airin. Sambil membenarkan kaca matanya yang turun dari batang hidungnya.

    "Enggak punya mata kali lo ya?" bentak Helen.

    "Udah deh, lo enggak usah lebay dia enggak sengaja juga, udah awas minggir. Queen of Claudia mau lewat." Claudia yang selalu berani dan melindungi Airin berlagak seperti  seorang queen di hadapan Helen and the gank.

    "Dih, ngeselin banget awas lo ya."  sahut salah satu gank diantara mereka.

    Airin dan Claudia tak memperdulikan mereka. Geng rusuh yang hobinya buat keributan. Kalau trouble maker geng cowok ada Reyhan and the gank, Helen adalah predikat yang cocok untuk versi geng ceweknya.

    Luna hendak pergi untuk menemui pak direktur Wijaya. Namun, Karel berusaha untuk menghalanginya.

    "Lo mau kemana Lun?"

    "Gue mau protes ke pak Wijaya soal ini."

    Karel bangkit menghampiri Luna yang sedang berdiri di pintu exit roof top.

    "Lo enggak perlu sampai harus melakukan hal kayak gini ke gua Lun. Udahlah biarin aja. Gua enggak mau lo ikut kebawa masalah nantinya."

    "Enggak bisa. Lo merasa enggak sih ada hal aneh yang terjadi sama lo. Kenapa pak Wijaya tiba-tiba menyuruh pak Burhan mengeluarkan lo dari kapten tim basket. Padahal lo udah banyak mengharumkan nama sekolah ini."

    Karel menarik napas, "Lun, please! kali ini aja gua mohon sama lo untuk dengerin gua. Biarkan ini menjadi urusan gua. Nanti kalau ada apa-apa gua janji bakal cerita ke lo. Okay?"

    Karel memegang kedua bahu Luna, meyakinkan Luna bahwa ia tidak harus ikut campur dalam hal ini. Karel tidak ingin Luna nantinya ikut terbawa masalah lebih jauh lagi.

Bersambung...

VERSUS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang