Episode 15

3 1 0
                                    

   "Pakai helmnya." seraya memberikan helm satunya lagi untuk Luna. Luna meraihnya, namun bukannya langsung dipakai. Luna malah bengong entah apa yang sedang dipikirkannya.

    Karena kelamaan, Karel mengambil alih helm yang dipegang Luna, kemudian memakaikannya langsung ke kepala Luna. Kedua mata mereka saling bertemu, beradu dalam sebuah pandangan serta tatapan yang cukup lama.

    Ditemani senja sore yang menguning, seiring angin berdawai menghempas pepohonan hijau yang tumbuh di area sekolah, keduanya saling merasakan ada getaran dahsyat yang menggetarkan raga dan jiwanya.

    Keduanya tersadarkan oleh suara burung-burung yang mulai berpulang ke sangkarnya.

    "Ayo, naik." ucap Karel sedikit gugup.

    Luna melangkah menaiki footstep motor sport Honda, CBR250RR milik Karel. Luna hanya diam termangu hanya dapat memandangi punggung Karel dari belakang. Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Namun cukup membuatnya bahagia.

    Itupun juga yang dirasakan oleh Karel. Ini pertama kalinya dia sedekat itu dengan seorang wanita. Karel bukan tipe lelaki yang mudah untuk jatuh cinta, tapi bisa jatuh cinta. Meski banyak rumor di luaran sana yang mengatakan, bahwa lelaki seperti Karel identik dengan tampang yang 'playboy'.

    Tapi itu semua tidak mewakili dirinya. Karel bukan lelaki seperti itu, dia beda dari lelaki yang lain. Meski dia memiliki privilege dalam hidupnya. Namun dia tidak pernah memanfaatkan hak istimewa itu untuk hal-hal yang tidak seharusnya.

    Karel mulai menjalankan kuda besinya, membelah jalan. Jejak hitam meninggalkan bekas roda pada aspal jalanan. Karel menambah kecepatan speedometer mengegas motornya lebih kencang.

    Luna secara spontan mencengkram kuat baju seragam sekolah Karel lalu memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua tangannya di area pinggangnya. Karel menatap tangan Luna yang memeluknya erat.

    Awalnya dia merasa risih, namun karena kecepatan motor yang dikendarai oleh Karel membuat Luna tak memiliki pilihan lain.

    Sementara itu di waktu yang sama. Bara baru saja sampai di depan sekolahan Luna dengan menggunakan motor bebek klasik Honda Super Cub. Bara melihat sekolah sudah mulai sepi.

    Nasib baik dia sempat bertemu dengan Claudia dan Airin dijalan. Bara memutuskan untuk mencoba bertanya pada dua gadis itu karena melihat seragam sekolah mereka yang sama persis seperti yang dipakai oleh Luna.

    "Permisi, maaf mau tanya kalian kelas berapa ya?" tanya Bara pada mereka berdua.

    "Kami kelas XII kak." jawab Claudia.

    "Anak sekolahan sudah pada pulang semua belum ya?"

    "Sudah pada pulang semua dari tadi. Kenapa kak memangnya?" tanya Airin.

    "Saya mau menjemput adik saya, Luna namanya. Kenal?"

    "Oh, kenal kak, kebetulan kami teman sekelasnya Luna. Luna sudah pulang duluan kak, mungkin sedang dalam perjalanan."

    "Gimana sih Luna, bukannya tungguin kakaknya, malah pulang sendirian." Bara bicara pada dirinya sendiri.

    "Tapi tadi dia diantar kok kak pulangnya." ujar Airin keceplosan. Claudia hanya bisa tarik napas.

    "Diantar? Sama siapa?"

    "Teman sekelas kami juga. Karel namanya."

    "Naik motor?"

    "Iya kak."

    "Oh, yaudah kalau begitu terima kasih ya. Mari." Bara menghidupkan mesin motornya lalu melanjutkan kembali perjalanannya.

    Hembusan angin di sore hari ini begitu menyentuh kalbu. Daun-daun pada bergoyang seakan mengikuti irama musik. Warna oranye diatas langit, menandakan hari sudah senja.

    Karel fokus pada jalanan yang di laluinya. Sesekali Luna menyembunyikan senyumnya tanpa sepengetahuan Karel. Suasana hatinya kini sedang berbunga, antara senang, gelisah, bercampur aduk menjadi satu.

    Kendaraan roda dua itu tiba-tiba berhenti berputar di persimpangan jalan karena lampu merah. Mereka berdua duduk manis diatas motor sambil menunggu lampu kembali hijau.

    Matanya menatap segelintir kendaraan bermotor maupun mobil yang melintas di depannya juga ada beberapa pejalan kaki yang berlalu lalang menyeberangi badan jalan.

    Tangan Luna yang melingkar di pinggang Karel masih belum dilepasnya, hingga suara "Kruuk... Kruuk... Kruuk..." terdengar dari dalam perutnya.

    "Are you hungry?" tanya Luna memastikan. Karena ia merasakan ada getaran kecil pada perut Karel.

    "Yeah, I'm starving, perut gua belum kena nasi dari tadi siang. Eh, by the way, cari makan yuk?" ajak Karel.

    "Gimana kalau makan di warung mie ayam bokap gua aja?"

    "Ah' yeah, that sounds great. Kebetulan hari ini gua juga lagi pengen banget makan mie ayam. I think it's much better than any other chicken noodle. Right? Yeah, we'll see."

    Lampu hijau kembali menyala. Karel kembali menjalankan motornya, menerjang kota Bandung. Langit sore yang kaya akan warna menemani perjalanan mereka untuk pulang. Keindahannya selalu membuat mata terpana. Sore yang memukau, senja.

    Ya, itulah dia sebuah nama yang biasa dipanggil. Sinar matahari sore yang berada di baris garis barat khatulistiwa. Seolah sedang memainkan kanvas pada langit biru, dengan gugusan awan yang membentuk barisan tak beraturan terlihat artistik, menarik, dan estetik.

    Warna biru yang mendominasi langit saat siang hari, berubah haluan menjadi cantiknya gradasi warna jingga yang memesona.

Bersambung...

VERSUS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang