Episode 20

5 1 0
                                    

Sebuah restoran rumah makan yang terdiri dari dua lantai dengan sentuhan konsep yang berbeda di setiap lantainya. Dengan penataan konsep cheerfull family dining dengan desain interior yang clean pencahayaan yang terang dan homey.

    Beberapa pelamar telah melakukan interview, mereka berbaris menunggu hasil yang nanti akan di infokan hari ini juga. Bara berharap bahwa ada kabar baik menantinya. Tak lama seorang pegawai keluar dari pintu restoran sambil membawa selembar kertas.

    "Oke, selamat siang semuanya!" ucap seorang pria dengan tampilan playful namun juga tidak terlalu kasual.

    "Siang." jawab para pelamar serentak.

    "Untuk nama-nama yang nanti akan saya panggil selamat kalian lolos, namun untuk nama yang tidak akan saya panggil. Mohon maaf kalian bisa coba lagi dilain waktu ya." jelas pria itu menginformasikan. Bara berharap namanya termasuk yang akan dipanggil. Pria itu mulai menyebutkan satu persatu nama-nama yang lolos tahap interview.

    "Clarissa Rasyid, Amigdala Rajasa, Emilia Gottardo, Renitasari, Ozzy Syahbana, Stephanie Putri, Rizky Aditya, Laura Basuki Tjahaja Timoer, Keisha Alvaro, Aqeela Rajo Bintang. Selamat kalian lolos dan silahkan ikut saya ke dalam."

    Bara menghela napas untuk kesekian kalinya dirinya harus menerima kepahitan ini. Nama-nama yang dipanggil terlihat bergembira saat nama mereka disebutkan satu persatu.

    Sementara untuk nama-nama yang tidak dipanggil terlihat wajah kekecewaan terpancar dari raut muka mereka. Tak terkecuali Bara.

    Harapannya sirna, kecewa dengan diri sendiri sudah pasti dirasakannya. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya namun semua itu seolah  tertahan di kerongkongan.

    Bara melangkah menjauhi restoran. Entah kemana ia harus melangkah mencari info pekerjaan. Batinnya sudah lelah, isi kepalanya campur aduk. Ia butuh healing ke sebuah tempat yang bisa sedikit menenangkan pikirannya sejenak.

    Jam istirahat telah berlangsung, murid-murid berhamburan menuju kantin. Vano menghampiri Karel yang sedang berjalan di lorong koridor seorang diri.

    "Ada hal yang mau gua omongin ke lo. Temui gua di belakang sekolah." ujar Vano melangkah lebih dulu, lalu diikuti oleh langkah kaki Karel dari belakang.

    Setibanya di belakang sekolah mereka saling face to face. Karel melihat ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Vano kepadanya.

    "Apa?" tanya Karel.

    "Gua tahu lo udah banyak mengharumkan nama sekolah ini. Dan gua percaya bahwa setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Namun bukan berarti pujian yang gua berikan ke lo sekarang ini, membuat diri lo menjadi besar kepala."

    "Gua enggak butuh kata sambutan dari lo. Straight to the point. Apa yang ingin lo sampaikan ke gua?"

    "Well, kemarin lo sempat menuduh gua bahwa gua memakai privilege sebagai anak dari pemilik yayasan sekolah ini. Karena sudah mengeluarkan lo dari tim basket dan tidak diikutsertakan dalam olimpiade. Sementara lo bingung apa alasan pak Wijaya dan pak Burhan mengeluarkan lo dari tim basket dan enggak memasukan lo ke dalam daftar peserta olimpiade."

    "Maksud lo apa sih, gua enggak ngerti."

    "Sebentar lagi lo juga akan tahu, alasan kenapa pak Wijaya dan pak Burhan mengeluarkan lo dari tim basket sekaligus tidak memasukkan lo ke dalam daftar peserta olimpiade." Vano memberi jeda.

    "Ini semua ada hubungannya dengan Reyhan." sambungnya.

    Karel menautkan kedua alisnya yang tebal. Apa maksud Vano mengatakan hal demikian.

    "Reyhan sakit hati sama lo gara-gara kejadian waktu itu di kantin. Dia meminta bantuan ayahnya untuk membatasi aktifitas kegiatan lo selama disekolah, bokapnya menemui bokap gua. Dan mereka saling membicarakan tentang hal ini salah satunya dengan cara mengeluarkan lo dari tim basket dan enggak memasukan nama lo ke dalam daftar peserta olimpiade."

    "Darimana lo tahu info ini?"

    "Tenang aja gua lagi enggak sedang mengarang cerita atau menyebarkan hoax, informasi ini gua dapat dari A1 yaitu dari orang tua gua sendiri.

    Bokap gua sendiri yang bilang ke gua semalam, orang tua Rey juga merasa enggak terima anaknya yang mendapatkan hukuman skors padahal anaknya lah yang seharusnya menjadi korban."

    "Tapi kenapa orang tua lo mau menuruti kemauan dari orang tuanya Reyhan?"

    "Itu salahnya orang tua gua. Dia cuma enggak mau donatur terbaik di sekolahan ini hilang."

    "Kok bisa?"

    "Karena orang tua Reyhan adalah donatur terbesar di sekolahan ini." ungkap Vano. Karel terkejut mendengar itu, ia tidak menyangka bahwa pak kepala yayasan bisa melakukan hal sekotor itu.

Reyhan menuruni anak tangga rumahnya yang terbilang luxurious berjalan menuju ke arah ruang tengah, disana terlihat sudah ada Daddy and Mommy nya yang sedang menunggunya untuk makan malam bersama.

    Sebenarnya Reyhan memiliki seorang adik perempuan bernama Dayana Veronica Gilmer namun saat ini sang adik sedang berada diluar negeri tepatnya di St. Petersburg, Florida, Amerika Serikat. Ia memilih untuk bersekolah disana, Dayana tinggal bersama sang nenek. Semua keluarga besar dari Ayahnya menetap disana.

    Reyhan mendorong kursi kayu yang di cat vernis. Mendaratkan bokongnya, lalu memajukan sedikit kursinya ke depan. Davina Veronica -- mommy-nya menatap wajah sang putranya dengan kening yang mengerut.

    "Rey, kenapa dengan hidung kamu?" tanya Davina khawatir. Aaron Gilmer, menatap putranya dengan tatapan penuh selidik.

    Reyhan sempat berusaha menutupi lukanya tersebut. Namun biar bagaimanapun Reyhan menutupi lukanya itu pada akhirnya akan ketahuan juga oleh kedua orang tuanya.

    "Kamu berkelahi lagi!" ucap Aaron, tegas. Ini bukan pertama kali Aaron melihat putranya dengan luka di wajahnya.

    "Aku sama sekali enggak berkelahi Dad."

    "Lalu ini apa?" Aaron melempar sebuah surat di hadapannya. Sebuah surat pemberitahuan dari sekolah. Terpampang jelas di atas meja.

    Davina meraih surat itu lalu membacanya. "Surat skorsing dari sekolah." Davina agak terkejut saat membaca bagian depan tulisan pada lembar surat itu.

    "Kamu buat masalah apa lagi di sekolah, Reyhan?" tanya Davina meminta penjelasan.

    "Daddy dapat telpon dari pak direktur Wijaya, katanya kamu buat masalah di kantin saat jam istirahat makan siang."

    "Bukan aku yang memulai duluan, Dad." bantahnya.

    "Kamu kalau bicara yang jelas." sekali lagi Aaron menekankan pada putranya.

    "Punishment yang diberikan pak Wijaya kepada ku itu enggak adil buat aku Dad. Aku yang jadi korban, lalu aku juga yang di hukum."

    "Maksud kamu apa sih?"

    "Aku enggak melakukan apa-apa, aku hanya bercanda dengan teman sekelas ku. Lalu tiba-tiba Karel melempari ku dengan nampan ke wajahku. Hingga seragam sekolah ku kotor semua akibat ulahnya."

    Aaron meradang ia tak terima anaknya diperlakukan seperti itu. Rahangnya mengeras.

    "Daddy lihat, dia melukai wajah ku tepat di bagian hidung. Terus aku di skors selama dua Minggu. Sementara Karel hanya mendapatkan hukuman membersihkan ruang aula selama seminggu setelah sepulang sekolah. It's not fair for me, Dad."

    Hingga keesokan harinya, mobil mewah berwarna hitam mengkilat berhenti tepat di halaman beranda sekolah AHS. Aaron Gilmer turun dari dalam mobil, datang ke sekolah putranya untuk menemui pak direktur Wijaya. Kebetulan saat itu kepala yayasan Archipelago High School sedang berada disana. Dan mereka membicarakan seputar hukuman yang diterima oleh anaknya

    Setelah Vano menceritakan semua tentang alasan dibalik mengapa Karel tidak dapat mengikuti olimpiade dan alasan mengenai dirinya yang dikeluarkan dari tim basket mulai terungkap.

Bersambung...

VERSUS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang