"Seharusnya gue enggak menarik tangan lo, sampai terjatuh kayak tadi." Airin menepuk bahu Luna.
"Jadi, lo yang menyebabkan Karel seperti ini?" tandas Kiano.
Luna mengangguk, "Wah parah Lo Lun. Lo tau kan, Karel itu aset bangsa. Kalau dia cedera kayak gini. Bagaimana dia bisa mengikuti pertandingan olimpiade olahraga siswa nasional?"
Bagaskara, Emil, Rafathar, Rayyanza, dan Kenzo memutar kepalanya menatap Kiano dengan tatapan penuh teror. Kenzo menyikut perut Kiano. "No, apaan sih, bisa dijaga enggak mulutnya?" tutur Kiano memperingatkan.
"Udah Lun, enggak usah nangis, lagian ini bukan salah lo juga." kata Karel saat Claudia selesai memasangkan arm sling ke tangannya.
"Iya, enggak usah dengerin Kiano. Gua yakin lo juga enggak sengaja kan ngelakuin hal itu. Pada dasarnya niat lo baik dan lo punya alasan kenapa melakukan hal itu ke Karel." Bagaskara ikut mencoba menetralisir perasaan Luna yang terus-terusan menyalahkan dirinya.
Bel masuk berbunyi, "udah bel masuk, sebaiknya lo istirahat disini aja rel sampai jam pelajaran selesai." saran Emil.
"Iya, nanti biar gue yang bilang ke Bu Henny kalau lo belum bisa ikut pelajaran dia, karena lo lagi sakit." ucap Claudia.
"Ya sudah, kalau begitu kita semua balik ke kelas ya rel. Cepat sembuh." ujar Emil mewakili lainnya.
"Duluan ya rel." sahut Kiano.
"Thanks ya guys."
Keenam teman anggota tim basketnya berlalu pergi meninggalkan ruangan UKS. Begitupun dengan Airin dan Claudia mereka mengekori keenam teman lainnya yang lebih dulu keluar dari ruangan.
Kaki Luna seperti tertahan, ia tak kunjung beranjak pergi dari ruang UKS. Karel memiringkan kepalanya ke samping kanan tepat dimana posisi Luna berdiri, mata gadis itu terlihat sembab. Area wajahnya terlihat becek karena rembesan air mata yang tak henti-hentinya mengalir deras.
"Lo kenapa masih disini? Enggak ke kelas?" tanya Karel lembut.
Luna menggelengkan kepalanya sedikit cemberut, sambil sesenggukan seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal orang tuanya.
Karel memposisikan kepalanya seperti semula, kali ini ia menatap langit-langit plafon gypsum putih bersih. Suasana hening seketika tanpa suara.
Hingga Karel terkejut dibuatnya, saat Luna tiba-tiba menangis dengan kencangnya.
"Huaaaaaa....!!!"
"Lu--Luna..., Sssttt... Hei...." berbagai cara Karel tempuh untuk mendiamkan Luna namun usahanya tak kunjung berhasil. Luna semakin menjadi-jadi.
"Luna, bisa diam enggak?" omel Karel sedikit menahan suaranya.
"Huaaaa...."
Bukannya diam justru malah semakin menjadi. Karel sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi tingkah Luna yang tiba-tiba berubah menjadi kekanak-kanakan seperti ini.
Karel memegangi keningnya, gelisah sekaligus pasrah. Karel berusaha bangkit dari pembaringannya menegakkan setengah tubuhnya untuk duduk lalu menarik lengan Luna dan mendekatkannya dalam pelukan.
Sontak, hal itu membuat Luna terkejut. Namun ajaibnya tangis Luna seketika berhenti saat itu juga. Entah karena usaha Karel berhasil atau justru karena kaget yang membuat Luna menghentikan tangisnya.
"Diam ya, jangan nangis." bisik Karel lembut ke telinga Luna. Jantung Luna seakan menari-nari tak karuan diperlakukan seperti itu. Cukup lama Karel memeluknya hingga akhirnya.
"Berisik tau enggak, nangis mulu." lanjutnya dengan nada ketus. Kemudian melepas pelukannya. Wajah Luna yang tadinya ceria, seketika kembali mengerucut.
"Iiihh..., Karel. Lo mah ngerusak suasana aja deh!" protesnya.
"Ngerusak suasana gimana maksudnya?" tanya Karel pura-pura tidak tahu.
Karel paham kalau sebenarnya Luna tidak ingin Karel melepaskan pelukannya. Karena Karel tahu pelukan bisa menjadi cara yang ampuh untuk mengkomunikasikan perasaan dengan orang lain.
Selain itu berpelukan bisa menjadi satu di antara cara mentrasfer energi baik. Saat kamu merasa rapuh dan goyah, sebuah pelukan hangat dari orang tua, kakak atau adik, sahabat, dan kekasih, bisa menguatkanmu dan meyakinkanmu bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"E-hm, enggak tau ah'." Luna menjadi bete dan salah tingkah.
"Gua ini lagi sakit, bukannya lagi cosplay jadi mayat. Jadi, enggak usah menangisi gua dengan meratapi secara berlebihan kayak gitu."
"Ini semua gara-gara gue, lo jadi kayak gini. Maafin gue ya rel."
"Lo enggak capek apa minta maaf terus? Gua udah bilang kan sama lo, ini sepenuhnya bukan salah lo."
"Tapi gue enggak bisa memaafkan diri gue rel kalau lo kenapa-kenapa."
"Semua ini murni kecelakaan. Jadi, enggak usah terlalu menyalahkan diri lo sendiri."
"Terus gimana sekarang tangan lo, masih sakit?"
"Udah lumayan. Lo kenapa enggak masuk kelas?"
"Gue masih pengen disini rel, nemenin lo. Gue benar-benar merasa bersalah banget sampai lo kayak gini."
Karel terdiam memandangi wajah Luna, ia melihat ada ketulusan begitu jelas terpancar dari ucapannya. Ketulusan tersebut muncul dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
Dari ketulusan itu Karel bisa melihat segala sesuatu dengan apa adanya. Orang yang benar-benar tulus biasanya tidak akan peduli dengan keadaan diri sendiri.
Hal ini jarang sekali ia dapatkan. Terlebih kepada kedua orang tuanya sendiri. Walau bagaimanapun juga Karel tidak ingin Luna sampai mengabaikan pelajaran demi dirinya.
"Luna, thank you so much for your attention and I really appreciate that. Tapi kalau boleh, gua minta sebaiknya lo masuk ke kelas sekarang. Gua enggak mau lo meninggalkan pelajaran demi gua. Lo enggak perlu khawatirin gua sampai kayak gini, gua akan baik-baik aja kok. Lo tenang aja."
"Tapi rel, gue..."
"Luna, please! kali ini aja lo dengar omongan gua. Ya?" kali ini tatapan Karel begitu serius, tangan kanannya memegangi pipi Luna. Sentuhan itu meruntuhkan pertahanan Luna. Kalau sudah seperti ini. Luna hanya bisa pasrah. Karel memang tahu bagaimana caranya, meluluhkan hati wanita.
Dari lubuk hati yang terdalam. Luna sebenarnya tidak ingin meninggalkan Karel seorang diri. Ini ia lakukan sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya untuk selalu berada disamping Karel disaat Karel membutuhkan sesuatu. Luna belum bisa memaafkan dirinya, karena sudah membuat lengan Karel mengalami cedera serius.
Entah mengapa tiap kali bertemu dengan Karel sedekat ini, membuat jantung Luna berdebar-debar. Itu juga yang dirasakan oleh Karel darahnya seketika berdesir, jantungnya memompa begitu cepat dari biasanya.
"Iya, lo benar. Sebaiknya sekarang lo istirahat aja. Gue akan masuk ke kelas sekarang. Nanti gue bakal balik lagi sama anak-anak buat jemput lo selepas pulang sekolah."
Luna melangkah meninggalkan Karel seorang diri di ruang unit kesehatan sekolah. Dan memutuskan untuk ke kelas mengikuti pelajaran terakhir dari Bu Henny yaitu mata pelajaran Fisika.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
VERSUS [SELESAI]
Novela JuvenilCerita ini mengikuti perjalanan beberapa anak remaja ambisius, Vano Mahendra Dinata, yang hidup dalam dunia yang penuh dengan persaingan sengit. Vano memiliki impian besar untuk sukses dalam karier atau pencapaian tertentu, namun di sepanjang jalan...