"Rel, lo tau enggak tadi gue sempat ketemu sama pak Burhan di taman sekolah. Pas gue sama Airin dan Claudia sedang asik foto-foto di taman, pak Burhan kemudian lewat. Terus gue coba samperin dia."
Karel fokus mendengarkan cerita Luna.
"Gue tanya ke beliau soal alasan kenapa lo enggak diikutsertakan dalam olimpiade dan tiba-tiba dikeluarkan dalam tim basket. Padahal lo itu udah banyak mengharumkan nama sekolah di setiap pertandingan perlombaan."
"Terus."
"Ya beliau juga enggak bisa kasih penjelasan yang jelas. Dia bilang kalau itu sudah menjadi perintah dari pak Wijaya. Dan dia enggak bisa berbuat apa-apa. Gue merasa ada sesuatu hal yang janggal dibalik ini semua."
Tak lama Johan kembali datang sambil membawa dua gelas es teh manis pesanan mereka.
"Silahkan." lelaki paruh baya itu memang terlihat murah senyum sekali.
"Makasih ya mas Johan." ucap Karel.
"Sama-sama." Johan langsung melipir pergi sepertinya ia tak ingin menganggu dua insan yang sedang serius menikmati semangkuk mie ayam. Lagi pula di luar sedang banyak pelanggan.
Karel meraih gelas es teh manis yang ada di hadapannya, kemudian menyesapnya. Dan meletakannya kembali di atas meja.
"Awalnya gua berpikir bahwa ini adalah ulah Vano." tutur Karel, kegiatan menikmati makan mie ayamnya terhenti sejenak.
"Kenapa lo bisa sampai mencurigai Vano?" tanya Luna penasaran.
"Karena menurut gua segala sesuatu yang berkaitan dengan pak Wijaya, pasti ada hubungannya dengan pemilik yayasan." Luna menyimak obrolan Karel serius.
"Lo tau kan, kalau Vano itu selalu menganggap gua sebagai rival nya. Vano selalu menganggap gua ini adalah kompetitornya di sekolah. Dia merasa enggak terima kalau gua satu level diatasnya dia. Bisa aja kan sebagai anak dari pemilik yayasan sekolah.
Vano memiliki privilege itu. Gua berpikir kalau dia memakai privilege itu untuk mengeluarkan gua dari tim basket dan menggantikan posisi gua sebagai kapten tim.
Tapi ternyata, saat gua mencoba menemui dia di lapangan, dia bilang ke gua bahwa dia sama sekali tidak pernah memakai privilege apapun demi ambisinya dia untuk bersaing dengan gua di sekolah. Kemudian gua memutuskan untuk menemui pak Wijaya di kantornya.
Untuk mencari tahu alasan kenapa gua sampai dikeluarkan dari tim basket. Tapi saat gua temui, pak Wijaya sedang enggak ada di kantornya. Gua sempat bertemu dengan Bu Anggi di ruang guru. Beliau mengatakan kalau pak Wijaya sedang ada urusan di luar."
Diluar sana langit tampak mulai kemerahan, Luna menyeka butiran kristal yang merembas melalui kulit pori-porinya dengan tissue efek sambal dan saus yang ia tuang ke dalam mangkuk mie ayam. Sehingga menambah level kepedasan di mangkuknya. Ia meraih gagang gelas es teh manis lalu meminumnya.
"Terus kita harus bagaimana?" tanya Luna. Meletakan kembali gelas itu pada posisinya.
"Entahlah, sebenarnya gua udah capek banget dengan semua ini. Gua udah sering banget ngerasain di manfaatin sana-sini. Bahkan ketika gua dianggap sebagai idola di sekolah. Gua sama sekali enggak merasakan hal itu.
Mungkin orang lain cuma bisa melihat gua dari sisi luarnya aja. Dimata mereka gua terlihat begitu sempurna. Like I have everything in this world. As a teen, I want to keep up with my friends, but everything is more difficult for me than it used to be.
Ada hal kelam yang enggak bisa gua ceritakan, karena gua enggak mempunyai tempat untuk bercerita. Hidup gua hampa, kosong, sepi, sunyi. Itu semua yang enggak mereka lihat. Hal itu yang mungkin membuat gua jadi rentan terhadap orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
VERSUS [SELESAI]
Fiksi RemajaCerita ini mengikuti perjalanan beberapa anak remaja ambisius, Vano Mahendra Dinata, yang hidup dalam dunia yang penuh dengan persaingan sengit. Vano memiliki impian besar untuk sukses dalam karier atau pencapaian tertentu, namun di sepanjang jalan...