**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Malam ini, gelap gulita menyelimuti rumahku yang kecil. Mati lampu... maksudnya, mati listrik. Sebabnya tidak muluk, bukan karena dimatikan oleh pihak PLN, tetapi karena kehabisan token.
Kulirik jam pada ponsel murahku. 21:22 tertulis di sana. Aku ingin ke warung kelontong dekat rumah yang menjual pulsa token listrik, tapi Nenek sedang sakit. Aku takut meninggalkannya sendiri. Kalau Nenek mau buang air, tidak ada orang yang menggendongnya ke kamar mandi. Adikku Januar belum pulang sejak siang tadi.
"Galih...." Suara serak nenekku memanggil.
Aku yang duduk dalam gelap pun segera berdiri. Menghampiri terburu dengan gerak yang tak grasah-grusuh supaya Nenek tidak terkejut. "Ya, Nek?"
"Di mana, Galih...?" tanya nenekku lagi.
Aku kian mendekat. Duduk di sebelah pinggang kurus Nenek yang disandarkan dengan bantal. "Di sini, Nek. Galih di sini dari tadi, duduk di kursi sebelah kaki Nenek," jawabku lembut. Menggenggam tangan Nenek yang telah keriput.
Nenek memejamkan mata, menggangguk pelan. Menahan sakit yang mungkin terasa hingga sekujur badan. Sedih, aku hanya bisa menebak. Entah sakitnya seperti apa. Nenek tidak pernah mau bilang.
Kemarin, sudah kubawa Nenek ke dokter spesialis penyakit dalam. Disarankan ke rumah sakit untuk dapat perawatan dan pengobatan lebih intensif, tapi Nenek menolak. Katanya, tidak mau merepotkan.
Padahal, aku sama sekali tidak keberatan jika harus menjaga Nenek di rumah sakit. Makan-tidur di rumah sakit pun aku bersedia. Toh, aku tak ada tanggungan lain selain Nenek yang memang harus aku jaga. Kalau Januar, dia sudah besar. Tak perlu lagi aku menjaga fisiknya seperti dulu, meski biaya hidupnya masih aku tanggung.
"Gak usah ke rumah sakit. Galih kerja, Januar sekolah. Kasihan kalian, nanti kalian terganggu aktivitasnya...." Begitu kata Nenek kemarin.
Apa semua nenek-nenek seperti itu? Atau hanya aku saja yang beruntung memiliki nenek sebaik dan sepengertian beliau?
Oh ya, namanya Maryam. Sering disingkat orang-orang jadi Nenek Mar. Lahirnya 74 tahun yang lalu. Seorang ibu yang sudah melahirkan mendiang ibuku.
Suasana redup nan gelap, sebab cahaya lampu yang tergolong tiada. Sedari tadi, aku hanya menyalakan senter kecil sebagai alat penerang kamar.
Wajah sakit Nenek terlihat lesu di balik temaram. Berbaring saja sambil menatapku dengan lemah. "Januar mana, Galih?" tanyanya dengan suara bergetar. Bergetar karena renta, ditambah karena sakit yang kian parah.
"Belum pulang," jawabku sambil mengelus-elus punggung tangan Nenek.
"Telfon... telfon Januar, Galih," pinta nenekku lagi.
Begitulah beliau. Selalu mengkhawatirkan kami---aku dan Januar. Soalnya, hanya kami saja yang Nenek punya di dunia. Sama. Kami berdua pun hanya memiliki Nenek sebagai keluarga.
Ibuku anak tunggal, tidak punya saudara kandung. Kakek---ayah ibuku, suami nenekku, sudah meninggal 8 tahun yang lalu. Lebih spesifik, orangtuaku juga sudah meninggal 8 tahun lalu. Mereka bertiga meninggal bersama, dalam insiden yang juga sama.
Sedih jika harus dikenang kembali. Namun, biar aku ceritakan....
8 tahun lalu, ketika usiaku 15 tahun dan Januar 9 tahun, kemalangan menghujam keluarga sederhana kami. Papa, Mama, dan Kakek meninggal di tempat, setelah dilanda sebuah kecelakaan tunggal di area Tol Cikampek, Km. 47.
Dugaannya, mereka terenggut nyawa akibat Papa yang mengantuk ketika membawa mobil. Iya, hanya dugaan, sebab tak ada saksi mata yang dapat dimintai keterangan. Mobil tua kami dikemudikan Papa, lalu ditumpangi Mama dan Kakek. Lantas, kejadian itu pun terjadi. Begitu cepat, merenggut nyawa mereka dengan cepat pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...