07 - Tak Ingin Jauh

1.1K 209 97
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Sehabis sholat isya dan memberi makan malam untuk Nenek, aku mencuci piring sebentar sebelum menemani Nenek tidur di kamarnya. Soalnya, Nenek sedikit-sedikit merasa ingin buang air kecil. Aku tidak tahu kenapa, tapi sudah seminggu Nenek seperti ini. Dan makin hari, malah makin sering.

Januar juga tadi mengadu, dia berulang kali mengantar Nenek ke kamar mandi. Biasanya, Nenek tidak terlalu begini. Sepertinya, besok aku harus membeli popok dewasa, supaya Nenek tidak perlu terlalu sering ke kamar mandi. Kasihan, nanti bisa masuk angin.

"Nenek, kita ke dokter aja ya besok?" ucapku di pukul 1 dini hari. Terhitung sudah 10 kali Nenek ke kamar mandi sejak pukul 9 malam tadi.

Nenek menggeleng. Kebiasaan sekali, kalau diajak ke dokter selalu tidak mau.

"Nek, tapi ini udah gak normal. Galih takut Nenek sakit. Kita harus cepet-cepet cek, biar bisa cepet diobatin," bujukku lagi dengan lembut.

Wajah pucat Nenek menunduk beberapa saat, lalu menatapi tanganku. Kemudian, Nenek mengambil tangan kiriku. Menggenggamnya dengan halus, lantas menatap wajahku. "Galih, nanti besok beliin Nenek popok yang ukuran besar itu, ya?" pintanya pelan, begitu sendu dalam kesenyapan.

Aku mengangguk karena itu sudah ada dalam rencanaku juga.

"Iya, besok Galih beliin. Tapi besok juga harus ke dokter, ya?" Aku kembali meminta.

Lalu, Nenek diam saja. Enggan sekali tuk menjawab 'iya'. Namun, aku tetap menunggu kata itu dengan sabar.

"Galih." Nenek mulai bersuara. Tatapannya digenangi air mata.

"Iya?" sahutku lembut.

Kami berdua di atas ranjang yang sama. Nenek bersandar di kepala ranjang, masih menggenggam tanganku sementara aku sendiri, duduk bersila di sebelahnya.

"Nenek udah tua, Sayang. Kalaupun Nenek sakit, Nenek gak apa-apa. Nenek gak mau dirawat di rumah sakit, ngerepotin Galih sama Januar... Nenek pokoknya mau di rumah aja. Lagian, kalau Nenek sakit dan meninggal, Nenek udah ikhlas," ucap Nenek serak dan perlahan-lahan. Tersenyum hangat di akhir kalimat.

Aku menggeleng-geleng cepat. "Nenek gak boleh ngomong begitu, Nek. Galih gak mau Nenek meninggal, Nenek gak boleh ninggalin Galih," ucapku terburu. Aku takut, sungguh.

Nenek tersenyum hangat lagi. Menyapu pipiku yang sebelah kiri.

Mataku sontak memanas. Aku menatap Nenek dengan nanar. Salahkah aku jika takut kehilangan? Aku tahu Nenek sudah tua, tapi salahkah jika ingin dengan Nenek selama aku masih di dunia kejam ini? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di dunia ini jika Nenek tak ada lagi. Pasti aku akan kehilangan setengah motivasi.

"Nek...." Aku menggenggan jemari-jemari kurus Nenek, sedikit meremas lantaran gelisah. "Nenek harus inget, ya. Nenek harus sama Galih terus... Nenek harus temenin Galih. Nenek gak boleh ngomong begitu lagi.... Kalau Nenek sakit, pasti Galih rawat sampai Nenek sembuh. Galih gak mau ditinggal sama siapa-siapa lagi...," ujarku nyaris terbata. Kudengar suaraku bergetar. Air mataku pun mengantre di ujung-ujung kelopak.

Air mata Nenek jatuh, membasahi pipinya yang keriput.

Aku semakin sedih. Seketika, teringat foto Nenek ketika muda, yang ada di ruang tamu depan. Nenek cantik sekali, bersanding dengan Kakek yang tubuhnya agak besar. Nenek mirip Mama, cantik dengan ujung hidung yang kecil. Mirip Januar juga. Ah, hatiku jadi sakit, tidak mampu membayangkan bertemu dengan kehilangan.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang