13 - Semangat, Galih!

1K 197 138
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Pagi berganti siang dan siang pun berganti petang. Aku baru mengantar dua gelas kopi ke ruangan Pak Rafdi, si pemilik perusahaan. Oh ya, buku gambar dan pensil yang Nenek minta tadi pagi, sudah kubeli di mini market terdekat.

Omong-omong, seharian ini aku berdoa supaya tidak bertemu atau disuruh oleh Pak Andrew. Bukannya apa, aku malu karena tak bisa melakukan apa yang kemarin dia sarankan. Aku malu karena tak bisa memenangkan pertikaian yang memang selalu dimenangkan oleh Januar.

"Eh, Galih."

Namun, agaknya tetap saja aku tak bisa menghindar. Kantor empat lantai ini tak cukup tuk dijadikan persembunyian. Pak Andrew menemukanku tak sengaja, di koridor lantai dua.

 Pak Andrew menemukanku tak sengaja, di koridor lantai dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tersenyum canggung, sedikit menunduk. Langsung terpikir, ini sudah pukul 4 sore, bank sudah tutup. Ya, pasti dia akan menanyakan hal 'itu'.

"Saya tungguin kamu dari pagi sampai jam segini, kamu gak dateng-dateng. Saya habis rapat jam 2 tadi, saya kira kamu udah nungguin. Ternyata emang gak dateng," ucapnya terlihat sebal. Namun, tetap elegan dan santai.

Tuh, kan. Apa kubilang?

Menggaruk tengkuk yang tak gatal, aku menunduk dan tersenyum malu. "I-iya, Pak. Anu... saya gak jadi kembalikan uangnya, Pak," jawabku hati-hati.

"Tapi kamu sudah bicara sama adik kamu tentang yang kemarin?" tanyanya lagi.

"Sudah, Pak." Aku mengangguk sopan.

"Sudah bilang apa kesalahannya juga?"

Aku menatapnya tipis-tipis. "S-sudah, Pak," senyumku lagi.

Pak Andrew tak lagi bersuara. Hanya melihat wajahku saja. Entah apa yang dipikirkannya.

"Ke ruangan saya, ya," ucapnya sambil berbalik badan.

Aku terdiam sejenak. Namun, menatap punggung Pak Andrew yang menjauh, aku jadi sadar dan cepat-cepat mengekorinya.

....

Tiba di ruangan bernuansa putih Pak Andrew, seperti biasa, aku disuruh duduk di sofa kecilnya. Dia pun duduk di sofa serupa, yang seukuran dan sewarna dengan sofaku juga.

Pak Andrew memangku kedua siku di atas lutut. Jemari-jemarinya bertaut. Aku diam, punggungku tegak, tetapi kepalaku menunduk. Sejenak, hening bergumul ditemani AC ruangan yang sejuk.

"Saya tidak mau ikut campur urusan kamu dan adik kamu. Tapi, kalau boleh jujur, saya agak kecewa sama kamu," ungkap Pak Andrew.

Ruangan ini pun lengang. Aku meremas jari-jariku di atas paha. Kepalaku kian menunduk dalam. "Saya minta maaf, Pak," ucapku pelan, menahan malu dan kegugupan.

"Secara tidak langsung, kamu membiarkan diri kamu dilanda masalah. Dengan memberi izin adik kamu ambil uang segitu banyak, hanya untuk seonggok handphone...." Dia menjeda, lalu menatapku yang terus menunduk. "Tidak bijak, Galih. Kalaupun kamu tidak mau kembalikan uang itu ke bank, setidaknya kamu cegah dia. Bilang, mau kamu pakai ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Modal usaha misalnya? Atau kamu beli kendaraan, atau biaya lainnya?"

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang