02 - Galih, Si OB

2.2K 279 83
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

"Kalau udah besar, Mas Galih harus jadi orang sukses. Jadi kebanggaan Papa sama Mama dan adik. Mas Galih harus rajin dan pinter, biar kayak Bapak B.J Habibie. Jenius, berpendidikan tinggi, berakhlaknya juga baik."

Aku ingat pesan dan keinginan Mama. Selalu ingat, tak pernah lupa. Namun, aku kecewa dengan kehidupan. Kehidupan memaksaku untuk tak dapat membanggakan Mama, Papa, dan... Januar.

Aku tidak bisa menjadi seperti Bapak B.J Habibie. Boro-boro buat pesawat, sekolah SMA saja tidak.

Setelah kematian orangtua dan kakekku yang terjadi tiba-tiba, hidupku jadi berubah. Dari kekurangan, menjadi sangat kekurangan.

Orang miskin. Dua kata itu memanglah pantas disandingkan untukku juga keluargaku. Sejak dulu, kami bukan orang berkecukupan. Orangtuaku, kakek-nenekku, mereka semua orang menengah ke bawah.

Warisan orangtua? Apa yang kalian harapkan? Tidak ada. Hanya rumah tua milik Kakek berisi tiga kamar ini saja yang jadi peninggalan. Ini pun sudah sangat aku syukuri sebab tak perlu mengontrak rumah di tengah kungkungan kejam Jakarta.

Aku terpaksa putus sekolah setelah berhasil mendapatkan ijazah SMP. Sempat lanjut SMA, tetapi hanya bertahan 2 bulan saja. Aku terpaksa berhenti sebab Nenek tiba-tiba jatuh sakit, tak bisa lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga tuk membiayai hidupku dan Januar.

Sejak sakit saat itu, Nenek tidak bisa berjalan lagi. Kursi roda pun jadi kakinya untuk sehari-hari.

Uang kami semakin habis, hingga tidak bisa membeli makanan untuk sehari-hari. Hanya mengandalkan pemberian tetangga-tetangga yang berbaik hati. Lantas, di situlah aku merasa harus berhenti menimba ilmu karena berbeda nasib dengan kawan-kawanku yang lain. Aku tak mungkin hanya diam mengharapkan belas kasih.

Usiaku 16 tahun saat berhenti sekolah. Lalu Januar, saat itu dirinya berusia 10 tahun, masih SD kelas 5.

Aku tidak tega bila Januar harus putus sekolah juga. Maka, aku korbankan sekolahku demi Januar bisa melanjutkan sekolahnya. Berat. Apalagi, setiap melihat teman-temanku masih asyik bersekolah setiap harinya. Iri bukan kepalang. Dulu, aku sering menangis sendirian saking inginnya sekolah. Bahkan, aku kerap bermimpi pergi ke sekolah. Namun, kembali lagi ke dunia, lantas tersadar itu hanya mimpi belaka.

Tidak apa-apa, Galih. Berulang-ulang kukatakan kalimat itu pada diriku sendiri. Aku harus bersyukur, sudah cukup bersekolah sampai SMP dan 2 bulan SMA. Aku sudah mengetahui lumayan banyak hal. Sementara Januar, waktu itu masih kelas 5. Dia belum tahu banyak hal, harus terus bersekolah sampai tahu banyak hal.

Kalau aku tidak bisa sesukses B.J Habibie idola Mama, setidaknya adikku harus bisa menjadi B.J Habibie untuk Mama dan Papa.

Oleh karena itu, aku melakukan apa pun supaya bisa bertahan dan menghidupi nenek serta adikku. Aku berusaha supaya Januar bisa terus sekolah dan menggapai cita-citanya.

Aku? Aku tidak punya cita-cita di bidang profesi karena orang sepertiku agaknya tidak mesti lagi mempunyai cita-cita. Kalau dulu, punya. Aku sangat ingin jadi tentara, mengabdikan diri untuk negara. Tapi, ya sudahlah. Tinggal angan-angan saja.

Yang kupunya sekarang bukan cita-cita, tetapi harapan. Aku berharap adikku bisa sukses menjadi seorang dokter seperti keinginannya sejak dulu. Aku berharap Nenek selalu sehat dan panjang umur, supaya dapat terus menyayangiku.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang