11 - Marah, Seperti Apa?

1.2K 225 218
                                    

Tarik napas dulu, semoga kalian tidak memasukkannya ke dalam hati, ya🙏🏻😬

.
.
.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*


Malam pukul 9. Seperti biasa, aku tiba di rumah di jam ini---setelah memaksakan pekerjaan full time tanpa izin meski sedikit menahan-nahan sakit perut dan kepala. Untungnya, malam ini sudah mendingan. Kak Anita memberiku makanan, air gula manis, dan minyak angin sebagai obat tambahan.

Pintu rumah tak terkuci, maka aku langsung menekan engsel dan membukanya. Berarti Januar ada di rumah. Namun, saat kuucap salam, tak ada yang menjawab.

Yang kulakukan setelah di rumah, tentunya mengecek kondisi Nenek di dalam kamar. Kubuka pintu kamar yang tak pernah terkunci itu dengan pelan, lantas menemukan Nenek sedang tidur dengan lelap. Aku tersenyum, berarti Nenek sudah makan malam.

Kutinggalkan lagi kamar Nenek, beralih ke kamar Januar yang berada di dekat dapur. Aku harus bicara serius dengan anak itu.

Tiba di depan pintu, aku mengetuk dan memanggil, "Januar? Jan!"

"Yaaa." Dia menyahut, aku pun menunggu hingga pintu terbuka.

Tak lama, pintu pun terbuka. Mata kami lekas bersua. Januar langsung berbinar. "Udah ada uangnya, Mas?" tanyanya antusias.

"Nenek udah makan?" tanyaku mengalihkan.

"Udah. Mana uangnya–"

"Makan apa?"

Antusiasme Januar memudar, lalu menjawab, "Makan telur sambel. Aku yang bikin."

Aku mengangguk. Tidak meragukan sebab Januar memang sedikit banyak bisa memasak meski yang gampang-gampang saja.

"Mana, Mas–"

"Uang tabunganku ada 3 juta. Aku mau kembalikan uang 25 juta ini ke bank, atau setidaknya mau aku kembalikan 23 juta, sisanya 2 juta untuk kamu beli HP baru," jelasku.

Dahi Januar berkerut, diikuti mata yang menyipit bingung. "Apaan sih, Mas? Kok dibalikin?" tanyanya heran dan tidak santai.

Posisi kami masih berdiri di depan pintu kamar Januar. Aku menatap Januar dengan datar.

"Kamu minta uang 27 juta buat beli HP, kan? iPhone yang terbaru, bukan buat daftar kuliah," sergapku lagi.

"Hah?"

"Kamu daftar beasiswa bidikmisi, tapi kamu gak bilang aku," paparku lagi.

Dia terkesiap. Mematung dengan mata dan mulut terbuka. "Mas tahu dari mana?"

"Kamu gak perlu tahu–"

"Ya perlu lah!" sentaknya untukku.

Aku tak menjawab. Kutatap matanya yang tengah menyala begitu nyalang. "Kamu mau beli HP baru? 2 juta aja kayaknya udah cukup buat orang seperti kita. Gak perlu beli yang 27 juta–"

"Mas Galih!" Dia kembali membentak, tidak terima.

Namun, aku tak gentar. Sudah biasa dibentak olehnya. "Pokoknya aku mau balikin uang ini. Kamu mau atau enggak aku kasih 2 juta, kalau gak mau, aku akan balikin semuanya ke bank besok," ucapku tetap dengan nada yang pelan.

"Gak bisa gitu, Mas!" Dia kembali bersuara keras.

"Gak usah teriak-teriak, Nenek udah tidur," kataku menekan suara.

Januar memejamkan mata, kesal. Kemudian, membukanya lagi untuk memberiku tatapan sengit nan tajam. "Pokoknya, aku gak mau Mas Galih balikin uang itu," desisnya rendah.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang