Untuk chapter ini hingga seterusnya, akan menggunakan sudut pandang orang ketiga, tidak pakai sudut pandang orang pertama lagi, ya. Semoga tidak masalah☺
Jangan lupa VOTE! Komen juga hayux. Jangan pelit kasih bintang ya, Sayang😌 muachhh😘
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
"Gimana? Suka, gak?" Adalah pertanyaan lembut Galih untuk adiknya. Pemuda 23 tahun itu segera menemui Januar di kamarnya begitu pulang dari mall.
Januar menatap lama gelas pemberian kakaknya. Memutarnya ke kiri, ke kanan. Melihat sisi dalam, samping, bawah. Menyelidiki begitu teliti, seolah gelas itu adalah barang bukti kejahatan.
Mereka berdua duduk di pinggir ranjang Januar. Galih menunggu harap-harap cemas, takut Januar tidak suka. Sudah siap dibentak sebab Galih pada dasarnya sudah biasa dibentak-bentak oleh adiknya, sejak dulu kala.
"Bagus," komentar Januar singkat.
Senyuman Galih terulas. Matanya berbinar. "Kamu suka?" tanyanya halus, tak pernah kasar.
"Hm." Adiknya bergumam saja, tetapi itu artinya 'iya'.
"Alhamdulillah." Galih tersenyum. Seketika, hatinya jadi semringah.
"Taruh ke dapur," titah Januar pelan, meletakkan gelas berpenutup astronot itu ke atas nakas sebelah tempat tidurnya. "Jangan pakai gelas aku lagi," tambahnya mewanti-wanti.
"Iya." Galih tersenyum. Teduh menatapi wajah samping Januar yang selalu mengingatkannya akan Afiani, almarhumah mama mereka.
Memanglah benar, Januar menyebalkan di mata semua orang. Namun, bagi Galih, Januar tetap adik kecilnya yang dulu sempat akrab. Galih kerap sakit hati, iya. Sering dibuat menangis, iya. Namun, itu hanya sesaat. Setelah selesai sakit hati dan menangis, Galih akan kembali sayang, begitu terus setiap harinya. Ia akan melakukan apa saja untuk Januar bahagia.
"Jan."
"Apa?" Januar menyahut pelan, cenderung cuek.
"Kamu mirip banget sama Mama," ucap sang kakak. Entahlah, tahu-tahu ia ingin mengatakannya, meski Januar pun sudah tahu hal itu sejak dulu kala.
Januar melirik ke kiri, pada Galih. Ia tersenyum miring. "Ya emang, terus?" ujarnya, lalu berbaring di atas bantal berseprai kuning kunyit.
Senyum Galih memudar karena respons Januar. "Iya... aku cuma mau bilang aja," jawabnya.
"Ya udah, ke luar sana. Aku mau tidur," balas Januar.
Mata Galih sontak membesar. "Sholat maghrib dulu... wudhu, bentar lagi mau adzan," ucapnya mengingatkan. Memandangi adiknya yang sudah berbaring santai.
"Ntar."
"Kapan?"
"Besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...