**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Dini hari adalah waktu di mana aku sering terbangun tanpa sengaja. Meski kurang tidur sekalipun, aku kerap terbangun di dini hari, di pukul 2 atau 3 pagi. Biasanya, aku akan sholat tahajjud sebelum mencari lelap kembali. Terkadang bisa tidur lagi, terkadang tidak berhasil.
Saat tidak bisa tidur lagi, aku akan menunggu waktu sholat subuh sambil merapikan rumah atau menyiapkan sarapan---jika ada bahan makanan. Jika sedang tak ada bahan apa-apa, selepas subuh aku membeli makanan jadi yang dijual di dekat-dekat rumah untuk sarapan kami semua.
Namun, pagi ini aku tak terbangun di jam 2 atau 3 dini hari. Setelah menangis sambil memeluk Nenek malam tadi, aku tertidur hingga suara adzan dari toa masjid berjarak 50 meter dari rumahku terdengar nyaring.
Tadi malam, adalah malam yang mengandung sedih dan sesak. Aku menangis banyak. Namun setelahnya, sebisa mungkin aku lupakan. Teringat kata Pak Andrew yang bilang penyakit lambung bisa saja kambuh ketika banyak pikiran. Aku tidak mau jatuh sakit dan merepotkan orang di tempat kerja, apalagi di rumah.
Kini, pagi sudah di pukul 8. Aku tengah bersiap berangkat kerja---setelah sarapan bersama dengan Nenek dan Januar. Omong-omonng, anak itu benar-benar tak memikirkan perasaanku barang sejenak. Dia bertingkah seperti tak ada yang terjadi tadi malam.
Sebenarnya, aku sudah biasa dibuat sedih dan kecewa oleh Januar. Sudah biasa juga dimarahi dan dibentak sebagai pelampiasan masalah-masalahnya.
Namun, perkara 27 juta ini sudah keterlaluan agaknya.
Namun lagi, sepertinya aku tidak pantas mengeluh karena melawan Januar saja, aku tidak mampu. Kakak macam apa aku? Ya sudah, terserah kalian saja mau mencapku apa karena aku sendiri pun tidak tahu aku ini kakak macam apa.
"Galih, nanti beliin Nenek pensil sama buku gambar bisa gak, ya?"
Aku sedang mengikat tali sepatu. Mendengar pertanyaan Nenek, bibirku langsung tersenyum. Menengok ke samping, pada Nenek yang duduk di kursi roda sebelahku.
Kami berada di teras rumah yang tak terlalu besar. Aku duduk di kursi kayu peninggalan Kakek, ditemani Nenek yang selalu gemar mememani sampai aku pergi kerja. Aku selalu senang setiap Nenek mengantarku sampai depan teras.
"Buat apa pensil sama buku gambar?" tanyaku lembut.
Tidak menjawab, Nenek malah memerhatikan kakiku dengan raut penuh selidik, membuatku ikut menatap ke bawah juga untuk mengamati. "Kenapa, Nek?" tanyaku lagi.
"Galih sepatunya udah jelek, ya? Beli lagi, tuh! Harus beli lagi," ucap Nenek dengan intonasi dan ekspresi serius. Dahinya sampai berkerut.
Aku terkekeh. "Masih bagus, Nek," kataku.
"Jelek ah."
"Bagus. Belum ada yang lepas. Nih, belum ada yang sobek juga." Aku tetap membela sepatuku yang kurasa masih layak pakai.
Namun, wajah Nenek kian masam. Sorotnya seperti menghina wariorku secara tersirat, aku jadi terkekeh lagi melihatnya.
"Warnanya bukan hitam lagi, Galih. Udah jadi abu-abu," tambah Nenek lagi. Masih saja mencerca sepatuku.
Kutatap sepatuku, lalu kembali tersenyum. "Kalau gitu, anggep aja ini sepatu abu-abu," ujarku ringan.
Nenek menggeleng. "Galih harus beli sepatu baru," pintanya lagi, wajahnya kini jadi sedih. Tidak peduli pada kalimat-kalimatku tadi.
Aku menghela napas halus, lalu tersenyum teduh. "Iya, Nenek... nanti Galih beli, ya," balasku teduh. Kemudian, melihat kerudung Nenek sedikit miring, aku membetulkannya supaya lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...