10 - Sekat Napas

1.3K 211 133
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

"Balikin aja uangnya, Mas..." adalah saran singkat Hendri, yang sudah teramat kasihan kepadaku karena baru saja tertipu.

Jony yang cerewet dan jujur, tidak ikut bersuara. Dia mengangguki saja, mendukung saran temannya.

Kami masih berada di area teras bank. Aku menyeka air tergenang dari kedua mataku, mencegah pemuda-pemuda 17 tahun ini menyaksikan tangis tak berhargaku.

"Mas Galih, jangan sedih ya, Mas... maafin Jony," kata Jony dengan raut mendung. Lucu sekali Jony. Meski wajahnya tampak galak, sebenarnya dia anak yang cukup baik.

Mendengar itu, mataku kembali memanas. Mengharapkan Januar setidaknya sekali saja mengatakan kalimat seperti itu untukku. Kalimat yang Jony katakan sangat manis terdengar di rungu.

Aku tersenyum. "Enggak, kamu gak salah. Saya gak sedih. Makasih ya, Jony, udah kasih tau saya. Hendri juga, makasih, ya," ujarku pada mereka.

Mereka berdua mengangguk dengan wajah yang pundung. "Iya, Mas Galih," kata Hendri mewakilkan.

"Terus... uangnya gimana, Mas?" Jony kembali bertanya. Sepertinya dia tidak tega padaku jika harus memberikan uang ini kepada Januar.

Aku memeriksa layar ponsel untuk melihat jam. Oh, tak bisa lebih lama. Ternyata kantor sudah terlalu lama kutinggal. Antrean tadi sangat panjang. Sebelum Bapak tentara angkatan laut, ada 4 orang.

"Insyaallah besok saya balik lagi," ucapku pelan, lalu mengangkat pandangan pada mereka. "Ini udah mau jam 2, takutnya saya dimarahin kalau kelamaan di luar. Soalnya kalau mau masuk lagi kan juga harus ngantri lagi," lanjutku apa adanya. Entahlah, tiba-tiba tubuhku lelah bak tiada tenaga. Suaraku memelan seolah pita suara kesulitan bekerja.

Wajah kedua anak muda di depanku ini sedih.

"Ya udah, Mas," kata Jony.

Aku tersenyum, lantas berpamitan pada mereka berdua dan kami pun berpisah di sana.

Aku menuruni tangga gedung bank, membenarkan selempang tas, menaruhnya di depan perutku yang lapar. Memeluk tas itu karena tasku menyimpan uang banyak. Tidak pernah aku membawa-bawa uang sebanyak 27 juta.

Melewati trotoar, aku melangkah satu demi satu dengan agak cepat. Dua lututku masih terasa lemas, seolah aku akan jatuh ke bawah bila tidak hati-hati berjalan.

Dadaku pun sesak. Jantungku berdebar karena menahan banyak perasaan yang tak mampu kuluapkan. Perutku mulai ngilu, lantas aku bersendawa, dan sendawaku terasa asam. Aku hanya sarapan sekotak susu cokelat pagi jam 8.

Sudah pukul 2. Matahari sedang gahar-gaharnya mendidihkan kepala. Aku ingin menangis rasanya, tapi tidak bisa. Aku ada di jalanan.

Seperti ada yang menahan kepalaku untuk harus terus tegak, seperti ada yang menahan rautku untuk harus terus ramah. Aku tidak bisa membuat ekspresi sebaliknya. Kemudian, aku terus melangkah, menuju kantor untuk kembali bekerja.

27 juta untuk sebuah telepon genggam. Itu bukan sesuatu yang bisa kuberikan. Bukan sesuatu yang harus kami beli dan gunakan. Tidakkah Januar paham? Atau dia memang tak mau paham?

Aku ingat bulan lalu, dia menyuruhku menandatangani beberapa surat yang katanya untuk kemaslahatan pendaftaran kuliah. Mungkinkah itu surat-surat pendaftaran bidikmisi yang membutuhkan tanda tangan wali siswa? Barangkali iya, tetapi Januar tak mau memberitahukan.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang