**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
"Beliin obat buat masmu."
Januar menggaruk kepala mengantuknya ketika perintah dengan nada kepanikan yang lembut itu menguar dari mulut sang nenek. Pasalnya, ini masih pukul 6 pagi, kebanyakan warung belum dibuka oleh pemiliknya.
"Masih pagi, Nek... belum ada warung buka," ujarnya bernada mengantuk.
"Ya cari, Jan. Kan, ada motor. Beliin ke apotek 24 jam atau mini market yang 24 jam," balas Nenek lagi.
Januar berdecak. Menjeling pada Galih yang terpejam meringkuk lemas di ranjang neneknya. "Bentar dulu dong, Nek... Januar masih ngantuk," sahutnya dengan dahi berkerut.
Manik Nenek menajam. "Sekarang!" sentaknya. "Kalau kamu sakit, tengah malem pun Galih cari obat buat kamu. Sekarang dia sakit, kamu banyak alasan gak mau beliin dia obat."
Membesar mata Januar. Baru kali ini Nenek membentak segitu emosional. Biasanya, Nenek hanya menegur dengan pelan dan lembut ketika ia berbuat salah.
"Iya, Nek." Januar terpaksa patuh. Kemudian, ke luar dari kamar Nenek, menuju kamar Galih. Mencari dompet masnya yang biasa berada di dalam tas selempang hitam tua.
Iya, tentu saja. Januar mana punya uang. Pastilah ia akan mengambil uang kakaknya.
Setelah ketemu, Januar mengambil uang 20.000 dan 10.000 dari dalam dompet sang kakak. Lantas, kembali ke luar kamar. Bergegas menghampiri motor untuk menaikinya dan berangkat mencari obat.
Sementara di rumah, Nenek setia menjaga Galih sejak dirinya bangun tadi. Cucunya sakit, tiba-tiba demam tinggi. Padahal, tadi malam masih sehat-sehat saja, bahkan sempat minta soto ayam kepada sang adik.
Nenek menyapu-nyapu dahi sang cucu yang begitu panas. Entah berapa derajat suhunya. Mereka tidak memiliki termometer. Yang jelas, anak itu kerap melenguh pelan walau dalam keadaan tidur saking parahnya panas dan pusing yang ia rasa.
Entah virus dan bakteri apa yang sedang dilawan oleh Galih hingga badannya bisa panas sekali.
Setelah 2 bulan bekerja tanpa istirahat yang masuk akal, belum lagi jadwal makan yang tidak beraturan, akhirnya pemuda itu tumbang juga.
Galih memang masih muda, fisiknya masih kuat. Namun, ia tetap manusia biasa yang bisa lelah. Ya, Galih selalu lelah, badannya sakit setiap malam, tetapi tak pernah mengeluh dan menuruti yang ia rasakan. Semangat kerjanya lebih berkobar ketimbang para lelah yang menyerang.
Namun, apa boleh buat? Tubuh Galih akhirnya marah, sebab sang tuan tak pernah memikirkan dirinya. Tubuh Galih kecewa, sebab tuannya memikirkan orang lain terus, tapi tak peduli padanya.
Kalau dihitung kasar, waktu istirahat Galih selama 2 bulan terakhir, hanya 2 jam per hari, pukul 3 sampai pukul 5 pagi. Itu pun kalau tidak insomnia karena menahan badan yang kelewat pegal dan nyeri.
Lalu paginya, ia harus belanja, memasak, atau membeli makanan jadi. Mengurus Nenek sebelum pergi kerja, memberi makan, memandikan, kemudian bekerja jadi OB hingga malam hari. Sampai di rumah, mengurus Nenek lagi, menggantikan pakaian, mengambil atau membuatkan makan malam, kemudian bekerja lagi dan harus bertemu air selama berjam-jam. Kemudian, pulang hampir pagi, mencoba istirahat, tetapi kadang tak berhasil sebab seluruh badan sakit tak dapat terlelap.
Pulang kerja jam 2 dini hari tadi, Galih sudah merasakan pusing dan panas dingin di beberapa bagian badan. Ia mencoba tak menggubris seperti biasa, tetapi gagal. Tubuhnya tak mau lagi bekerja sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...