**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Seperti yang sudah direncanakan, Galih berziarah ke makam papa, mama, serta kakeknya sebelum pergi bekerja. Di pukul 7.35 pagi, ia sampai di area TPU yang tak jauh dari rumah.
Terakhir Galih ke sini, sekitar 2 bulan yang lalu. Rumput-rumput sudah agak subur. Galih mencabut-cabutinya sambil berjongkok. Mulai dari makam Mama, Papa, lalu Kakek. Galih mengerjakan pencabutan rumput dengan cepat dan rapi karena sudah terbiasa bekerja cekatan.
Setelah semua rumput habis dicabuti, masih dengan keadaan jongkok sebab tak membawa tikar, Galih mengangkat kedua tangan dengan mata terpejam. Menyuarakan pelan doa-doa untuk orangtua juga kakeknya. Tak ada perasaan yang berlebihan, hanya khusyuk mendamba munajatnya dikabulkan Tuhan.
Usai berdoa, Galih menyapu wajah dan membuka mata. Menatapi sejumlah kuburan yang berjejer tiga. Hanya disemen sederhana, sebab bukan orang kaya atau orang terpandang yang kuburannya kerap dihias-hias.
Batu nisan bertuliskan 'Afiani Cahyaningrum', Galih elus pelan-pelan. Sorotnya teduh memandang, dengan bibir tipis yang melengkung membentuk senyuman. "Mama... makasih ya, udah nanyain kabar Galih. Galih sehat, Ma," ucapnya lembut, penuh cinta dan perasaan.
Tiada sensasi sedih seperti dini hari tadi. Kelenjar air mata terasa tenang, tak ada yang bekerja keras tuk mengalirkan air. Senyuman Galih bersahaja, damai, dan manis. Teringat lagi akan Mama yang datang menemuinya dengan begitu cantik.
Tangan Galih berpindah ke kuburan sebelah, mengusapinya juga dengan perasaan. "Papa," sapanya dengan senyuman. Menyapa manis seolah raga sang papa hidup di sampingnya.
Seekor burung kecil hinggap di atas tegel bagian samping kuburan Papa. Galih tersenyum kecil menatapnya.
"Oh ya, Januar sebentar lagi jadi anak kuliahan lho, Pa," ujarnya bangga sembari menyapu-nyapu nisan sang ayah. Senyumnya pun masih terukir indah di sana.
Lalu, ia menatap satu pusara lagi. Letaknya di sebelah pusara Mama Afiani, pusara milik Kakek yang baik. Pemuda 23 tahun itu berdiri dari posisi jongkoknya. Menghampiri makam terakhir yang belum ia sambangi secara dekat.
"Kakek," sapanya lagi, dengan cara yang sama saat ia menyapa Papa.
Seekor ayam jago melintas di depannya, kemudian berkokok gagah dengan dada dibusungkan. Alhasil, senyum Galih makin berkembang gara-gara si ayam yang lucu sekali menurutnya. "Hehe. Iya, aku tahu suara kamu bagus," ucapnya pada ayam itu.
Akan tetapi, si ayam hanya melengos. Meninggalkan Galih begitu saja. Hewan itu berjalan-jalan lagi menyusuri tanah pekuburan.
Galih kembali fokus pada kegiatannya. Ia menoleh lagi pada makam Kakek, memandangi batu nisannya dengan keteduhan. "Kakek, alhamdulillah Nenek udah sehat, kok. Galih bakal jagain Nenek terus," ujarnya begitu damai pada makam itu, seolah ada wujud nyata sang kakek di hadapannya.
Sepi pun menjadi balasan. Galih tak mempermasalahkan. Ya namanya juga kuburan, pasti sepi, bukan?
Tidak lama setelah menyapa semuanya, Galih bangkit dari posisi jongkok karena sudah agak pegal. Melihat jam pada ponsel retaknya, sudah mau pukul 8. Lantas, bergegaslah dia. Berpamitan dengan ucapan salam, sebelum pergi meninggalkan area makam.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Waktu-waktu telah bergulir. Mengantar pagi bertemu sore hari. Di kantor, Galih bekerja seperti biasa: rajin, cepat, dan rapi. Tuturnya juga seperti biasa: lemah lembut, ramah, dan sopan sekali. Yang agak mencuri perhatian, senyuman-senyuman Galih terlihat berbeda hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...